Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
Bedah BukuKajian Literatur

Wacana Akhir Zaman: Antara Penerimaan dan Penolakan di Jagat Maya

109
×

Wacana Akhir Zaman: Antara Penerimaan dan Penolakan di Jagat Maya

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
2
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
2
+1
0

Buku “Analisis Kritis Penafsiran Di Media Sosial: Wacana, Genealogi, Otoritas dan Autentisitas Konsep Akhir Zaman” merupakan hasil gubahan dari disertasi Abdul Muiz Amir yang diterbitkan oleh Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Press pada tahun 2022.  


Buku ini terdiri dari tiga tema besar, yaitu; Pertama, penulis menganalisis konstruksi wacana akhir zaman yang diproduksi dan didistribusikan melalui konten ceramah oleh para mubalig di media sosial YouTube. Bahasan ini diuraikan oleh penulis menggunakan pendekatan critical discourse analysis (CDA) model Norman Fairclough untuk mengungkap karakteristik metodologi dan ideologi penafsiran di balik konstruksi wacana akhir zaman. Kedua, Penulis berusaha mengeksplorasi secara genealogi historis terhadap fenomena wacana serupa yang ditemukannya di dalam catatan sejarah apokaliptik Islam. Penulis menerapkan pembacaan genealogi historis untuk melacak transmisi dan transformasi wacana akhir zaman dalam catatan berbagai literatur sejarah apokaliptik Islam. Ketiga, Penulis juga mengurai analisis otoritas dan otentisitas ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat Hadis yang bersinggungan dengan konsep akhir zaman, serta adakah sinergitas antara kedua sumber wahyu tersebut. Penulis menerapkan pendekatan hermeneutika kritis dan analisis isnād-cum-matn untuk mengidentifikasi otoritas dan autentisitas konsep akhir zaman antara redaksi Al-Quran dan Hadis.


Bab II buku ini membahas tentang wacana akhir zaman yang diproduksi dan didistribusikan di media sosial YouTube. Penulis melakukan analisis wacana kritis terhadap konstruksi penafsiran Al-Qur’an dan hadis oleh para mubalig bergelar “Ustadz Akhir Zaman” (UAZ) menggunakan kerangka teori critical discourse analysis (CDA) tiga dimensi dari Norman Fairclough.

Pada dimensi deskripsi, penulis menemukan bahwa UAZ merepresentasikan wacana akhir zaman sebagai representasi dari peristiwa-peristiwa menjelang kiamat, khususnya wacana perang akhir zaman (PAZ). Wacana ini dibingkai dengan istilah-istilah seperti “jihad akhir zaman”, al-fitan, dan al-malahim untuk melegitimasi perjuangan membela umat Islam dari tekanan musuh-musuhnya.

Melalui dimensi interpretasi, penulis mengungkap adanya praktik misrepresentasi dari UAZ dalam menafsirkan ayat dan hadis terkait akhir zaman. Mereka cenderung mengabaikan konteks historis teks dan mereduksi ragam penafsiran, sehingga terkesan menampilkan tafsir yang monolitik dan ideologis.

Sedangkan pada dimensi eksplanasi, penulis menelusuri latar sosio-historis yang mempengaruhi produksi wacana akhir zaman oleh UAZ. Isu Palestina, kebencian pada Barat dan Yahudi, serta kegagalan Muslim bersaing dalam perkembangan global menjadi faktor penting yang melatari maraknya wacana akhir zaman.

Di bagian akhir, penulis juga membahas respons publik yang cenderung menerima wacana akhir zaman sebagai bagian integral dari ajaran Islam. Meski ada sebagian kecil yang menolak, namun sulit membendung pengaruh wacana ini di tengah masyarakat. Kontestasi antarustadz dalam merespons wacana ini juga menunjukkan adanya perebutan otoritas keagamaan di ruang media sosial.

Secara umum, bab ini berhasil memetakan kompleksitas produksi, distribusi dan konsumsi wacana akhir zaman di YouTube dengan perspektif yang kritis dan komprehensif. Meski demikian, bab ini masih perlu ditindaklanjuti dengan penelusuran genealogi historis untuk memahami akar dan perkembangan wacana akhir zaman secara lebih utuh.


Bab III buku ini, penulis berusaha melakukan rekonstruksi analisis genealogi historis dengan melacak kemunculan dan perkembangan wacana akhir zaman dalam sejarah apokaliptik Islam. Hasilnya menunjukkan bahwa fenomena ini telah ada sejak era generasi awal Islam, khususnya pasca tragedi terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Sejak saat itu, term “al-fitan” mulai dipahami sebagai bagian dari tanda akhir zaman.

Fenomena ini berlanjut pada era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, di mana kelompok-kelompok oposisi memanfaatkan wacana akhir zaman untuk melawan rezim yang berkuasa. Pola yang sama juga ditemukan pada era Dinasti Fatimiyah di Mesir melalui dogma Imam Mahdi dari kalangan Syiah Ismailiyah. Begitu pula pada era Dinasti Utsmaniyah di Turki, di mana spekulasi akhir zaman digunakan untuk melegitimasi penaklukan Konstantinopel.

Penulis juga menemukan kesamaan pola pada era kolonialisasi Barat. Tekanan politik dan ekonomi dari negara-negara Eropa memicu kemunculan gerakan-gerakan millenarian di Sudan, Iran, dan Arab Saudi. Para tokoh seperti Muhammad Ahmad, Khomeini, dan Juhaiman al-Utaibi mempropagandakan wacana akhir zaman untuk memobilisasi perlawanan terhadap kekuatan kolonial dan rezim sekutu mereka. Namun ironisnya, berbagai gerakan ini selalu berakhir dengan kegagalan.


Bab III buku ini, Penulis melakukan analisis kritis teks dari redaksi wahyu (Al-Qur’an dan Hadis). Penulis menemukan adanya kesenjangan konseptual antara redaksi Al-Quran dan riwayat-riwayat hadis terkait tanda-tanda hari kiamat. Al-Quran cenderung berfokus pada pesan-pesan eskatologis, sedangkan riwayat hadis banyak memuat narasi apokaliptik. Sebagian riwayat hadis bahkan mengandung informasi detail yang tidak ditemukan dalam redaksi Al-Quran. Hal ini menunjukkan adanya masalah otoritas riwayat hadis tersebut dibandingkan Al-Quran.

Untuk menguji autentisitas riwayat hadis PAZ, penulis melakukan analisis isnā d-cum-matn. Dari analisis tersebut, ditemukan bahwa terdapat sejumlah aktor yang berperan dalam produksi dan distribusi riwayat PAZ, antara lain Abu Hurairah dan pemancar lain dalam jaringannya, serta Abu Nu’aim bin Hammad. Riwayat-riwayat PAZ terindikasi diproduksi oleh para aktor tersebut pada era mereka yang dipengaruhi oleh konteks politik keagamaan saat itu.

Lebih lanjut, penulis berargumen bahwa riwayat PAZ sesungguhnya bersumber dari konsep dan tradisi isra’iliyat (Yahudi-Kristen) yang diadopsi ke dalam Islam. Hal ini terjadi karena minimnya informasi detail tentang tanda hari kiamat dalam redaksi Al-Quran, sementara tradisi isra’iliyat telah lebih dulu memiliki konsep tentang hal tersebut. Pengadopsian itu dilakukan melalui proses “Islamisasi konsep” oleh para pemancar riwayat isra’iliyat.


Berdasarkan uraian tersebut, hasil temuan penulis menunjukkan bahwa terdapat indikasi problematika metodologis dalam penafsiran UAZ di YouTube. Problem metodologi itu tampak dari praktik dekontekstualisasi penafsiran mereka dalam memahami ayat-ayat Al-Quran dan hadis tentang akhir zaman. Pendekatan ini merupakan perwujudan atas pengabaian konteks historis dari redaksi wahyu demi mengungkap aspek kemukjizatan Al-Quran. Akibatnya, produk penafsiran mereka rentan terjebak pada misrepresentasi, seperti ekskomunikasi, eksklusi, marginalisasi, dan delegitimasi terhadap penafsiran lain yang berbeda. Meskipun demikian, wacana akhir zaman yang mereka konstruksi telah mendapat respons positif dari sebagian besar kalangan digital natives. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah komentar dan likes pada video-video kajian akhir zaman di YouTube. Namun di sisi lain, wacana ini juga menuai kontroversi dan penolakan dari sebagian mubalig lain yang menganggapnya sebagai bentuk spekulasi dan propaganda.

Selain itu, penulis juga menyimpulkan bahwa fenomena wacana akhir zaman yang marak di media sosial saat ini merupakan kelanjutan dari transmisi dan transformasi yang telah berlangsung berabad-abad dalam sejarah Islam. Wacana ini hampir selalu dimanfaatkan untuk kepentingan politik, baik sebagai alat perlawanan maupun legitimasi kekuasaan. Karena itu, umat Islam perlu menyikapi secara kritis berbagai spekulasi akhir zaman yang kerap dipropagandakan oleh pihak-pihak tertentu. Klaim kebenaran tunggal dan ajakan pada tindakan ekstremisme atas nama dogma eskatologis perlu diwaspadai demi menjaga harmoni kehidupan beragama dan keselamatan bersama. Temuan-temuan dalam buku ini memperkuat argumen bahwa wacana PAZ yang viral di media sosial sesungguhnya tidaklah bersumber langsung dari wahyu (Al-Quran dan hadis otentik), melainkan dari narasi-narasi isra’iliyat yang diserap dalam riwayat hadis pada era setelah Nabi Muhammad SAW. Al-Quran sendiri tampak merespons tradisi ramalan apokaliptik yang ada dengan menegaskan pengetahuan tentang hari kiamat sebagai wilayah prerogatif Allah SWT.


Berikut ini catatan kritis untuk kelebihan dan keterbatasan dari buku “Analisis Kritis Penafsiran Di Media Sosial: Wacana, Genealogi, Otoritas dan Autentisitas Konsep Akhir Zaman” karya Abdul Muiz Amir:

Kelebihan:

  1. Topik yang diangkat sangat relevan dan aktual di tengah maraknya peredaran wacana akhir zaman di media sosial yang kerap menimbulkan keresahan dan kesalahpahaman di masyarakat.
  2. Penulis menggunakan pendekatan multidisipliner yang komprehensif dalam menganalisis fenomena wacana akhir zaman, mulai dari analisis wacana kritis, genealogi historis, hingga kritik otentisitas teks wahyu. Hal ini membuat kajian dalam buku ini menjadi kaya perspektif.
  3. Temuan penelitian yang dipaparkan cukup mencerahkan, terutama terkait adanya problematika metodologis dalam penafsiran para ustadz akhir zaman di YouTube, serta akar genealogis wacana ini yang bersumber dari tradisi isra’iliyat, bukan wahyu otentik.
  4. Buku ini berhasil memetakan pola umum transmisi dan transformasi wacana akhir zaman dalam sejarah Islam yang hampir selalu terkait dengan kepentingan politik dan kekuasaan.
  5. Penulis juga menyajikan kritik yang berimbang dengan menampilkan respons beragam dari publik dan para ustadz lain terhadap kontroversi wacana akhir zaman di media sosial.

Keterbatasan:

  1. Cakupan objek penelitian dalam buku ini terbatas pada fenomena wacana akhir zaman di YouTube saja. Padahal wacana serupa juga marak beredar di platform media sosial lainnya seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok yang mungkin memiliki pola berbeda.
  2. Sampel ustadz akhir zaman yang dianalisis juga terbatas pada beberapa figur populer saja. Akan lebih komprehensif jika melibatkan lebih banyak ustadz dengan latar belakang yang lebih beragam.
  3. Pembahasan tentang dimensi konsumsi wacana, terutama terkait motif dan dampak psikologis-sosiologis pada para pengikut ustadz akhir zaman, masih kurang mendalam. Perspektif kajian media atau psikologi komunikasi bisa melengkapi aspek ini.
  4. Rekomendasi solusi yang ditawarkan penulis untuk menyikapi maraknya wacana akhir zaman masih normatif dan belum menyentuh aspek praksis. Diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengedukasi dan meliterasi masyarakat dalam menghadapi isu ini.

Terlepas dari keterbatasan tersebut, buku ini telah memberikan kontribusi penting dalam diskursus akademik tentang fenomena wacana akhir zaman di media sosial. Temuan-temuan dalam buku ini dapat menjadi landasan bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam dan ekstensif terkait topik ini.

106 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
2
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
2
+1
0

About The Author

Example 1100x350