Gaes, situasi politik akhir-akhir ini kok kayaknya jauh banget dari cita-cita reformasi, ya? Mereka yang dulu kelihatan bak pahlawan reformasi, eh sekarang malah ikut-ikutan berburu kursi kekuasaan. Waduh, fenomena kayak gini nih, dalam dunia politik, bisa dibilang sebagai sindrom kekuasaan. Kalau dicermati, setidaknya ada tiga jenis sindrom yang bikin pusing kepala.
Pertama, ada tuh yang namanya Post-Power Syndrome. Ini tuh penyakit yang bikin orang jadi aneh-aneh setelah nggak lagi pegang jabatan kekuasaan. Mereka jadi hobi banget mengkritik pemerintah, kadang malah kelewat lebay dan sok-sok reformis gitu deh.
Terus, ada lagi nih yang namanya Pre-Power Syndrome. Nah, kalau yang ini tuh penyakit orang yang sebelum berkuasa, rajin banget promosiin diri sendiri supaya bisa meraih kekuasaan. Kayak lagi kampanye pemilu gitu deh, tapi kampanyenya 24/7 non-stop!
Nah, yang terakhir nih, namanya In-Power Syndrome. Ini tuh gambaran buat orang yang sebelum berkuasa kelakuan dan omongannya kayak ‘orang bener’ banget, tapi begitu udah duduk di kursi kekuasaan, eh dia mulai lupa diri dan mati-matian mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun. Wah, bahaya nih!
Apapun jenis sindromnya, tujuannya sama aja, yaitu menggerogoti individu dengan iming-iming kekuasaan. Ujung-ujungnya, orang itu jadi kayak ‘budak’ atau tawanan kekuasaan. Nggak peduli mau jadi apa, yang penting kuasa!
Nah, pakar-pakar dan filosof punya pandangan yang lumayan sick tentang hal ini. Contohnya si Plato, filosof Yunani kuno itu bilang ‘kalo kekuasaan itu ibarat racun yang bisa membuat orang-orang yang tadinya baik jadi corrupt dan serakah.’ Waduh, bener juga ya?
Terus ada juga Lord Acton, seorang sejarawan Inggris yang ngomong ‘Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.’ Artinya, kekuasaan itu cenderung membuat orang jadi korup, dan kekuasaan absolut bikin orang jadi korup total. Gimana tuh, keren kan quotes-nya gaes?
Nggak ketinggalan juga ada pakar psikologi seperti Dacher Keltner yang meneliti efek samping dari kekuasaan. Dia bilang kalo orang-orang yang berkuasa sering kali jadi kurang peka terhadap orang lain, dan lebih fokus pada diri sendiri. Mereka juga cenderung underestimate resiko dan terlalu percaya diri. Wah, bahaya juga ya kalo gitu.
Eh, ada contoh menarik nih dari negeri seberang. Jadi, ada tuh seorang profesor sejarah dari Harvard University, namanya Henry Kissinger. Dulu, sebelum diangkat sama Presiden Richard Nixon jadi penasehat pemerintah dan ketua NSC (National Security Council), dia tuh sosok yang selalu mengkritik pemerintah abis-abisan. Eh, begitu dia duduk di kursi jabatan itu, mendadak dia jadi pembela pemerintah nomor wahid. Setelah itu, Nixon malah mempromosikan dia jadi Menteri Luar Negeri. Wah, makin banyak deh kerjaan dia buat membela setiap kebijakan pemerintah. Tapi, begitu dia turun jabatan dan nggak lagi jadi orang pemerintahan, eh dia mulai lagi deh mengkritik pemerintah. Labil banget nggak sih?
Penyakit atau sindrom kekuasaan ini bisa terjadi di mana aja, guys. Nggak peduli di negara maju atau berkembang, semua orang punya potensi buat kena sindrom ini. Kalau udah kerasukan, susah deh buat jujur dan bener. Soalnya, dasar perbuatannya cuma subyektifitas doang buat cari atau pertahanin kekuasaan pribadi.
Jadi intinya, power syndrome itu kayak virus yang ngancam siapa aja yang punya kekuasaan. Para pakar dan filosof mewanti-wanti kita untuk selalu waspada dan jangan tergoda dengan kekuasaan yang berlebihan. Tetap rendah hati dan gunakan kekuasaan itu untuk kebaikan bersama lah pokoknya. Klean paham kan sampe sini gaes? semoga paham ya!
Makanya, kita harus senantiasa waspada nih. Ada baiknya kalau kita mengamalkan uzlah-nya Imam Ghazali. Uzlah di sini bukan berarti menyepi atau bertapa ya, tapi lebih ke mengambil jarak dari masalah yang ada, supaya bisa melihat keadaan yang sesungguhnya secara obyektif. Kayak pas shalat gitu deh, dimulai dengan takbiratul ihram dan pas ngucap “Allahu Akbar“, kita harus fokus dan konsentrasi cuma kepada Allah SWT, yang berarti meninggalkan segala hal di sekeliling kita. Nah, di situlah kita uzlah, melupakan semua hal yang mengandung kepentingan pribadi atau golongan, menuju ke satu titik mutlak, kebenaran sejati, supaya dari sana kita bisa dapat petunjuk yang lurus. Mirip kayak salah satu doa dalam bacaan shalat, “Ihdina al-shirat al mustaqim (Tunjukanlah kami (Ya Allah) ke jalan yang lurus)”.
So, gimana nih gaes? Udah siap belum buat uzlah dari sindrom-sindrom kekuasaan yang bikin pusing kepala itu? Yuk, kita sama-sama jaga diri dan jaga negara kita dari penyakit politik yang berbahaya ini!