Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
#Kiyai SalehFiksi

Serial Kyai Saleh #9: Realitas Internal dan Realitas Eksternal

661
×

Serial Kyai Saleh #9: Realitas Internal dan Realitas Eksternal

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
41
+1
16
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Yusran mengurungkan niat keluar rumah. Chat dari Gilang, temannya yang gila filsafat yang menahannya. Gilang akan berkunjung ke rumah Kyai Saleh dan meminta Yusran menemaninya. Entah hal apa yang ingin didiskusikannya.

Hanya 15 menit berselang setelah chat terakhir, Gilang telah berada di depan pagar rumah Yusran.

”Langsung maki ke rumahnya Kyai Saleh.” Yusran segera berdiri dan berjalan ke arah pintu pagar. Gilang menghentikan langkahnya yang semula hendak masuk ke halaman rumah Yusran. 

”Buru-buru sekali.”

”Biar banyak waktu cerita. Jam begini biasanya Kyai Saleh bebas. Paling duduk-duduk di teras rumahnya.” Kata Yusran sambil melangkah ke rumah Kyai Saleh.

Hanya butuh puluhan langkah kaki, kedua anak muda telah tiba di rumah Sang Kyai.  Dugaan Yusran tepat. Kyai Saleh sedang berada di teras rumah.

Yusran segera menyalami tangan Kyai Saleh sembari menciuminya. Gilang membungkukkan badan, menyalami Kyai Saleh tetapi tidak mencium tangan sang Kyai.

”Kita masih ingat temanku yang ini Kyai?”

Kyai Saleh memandang lekat lelaki muda itu, lalu tersenyum.

”Oh yang atheis itu?” tanya Kyai Saleh dengan nada sedikit bercanda. Yusran tersenyum. Gilang ikut tersenyum kecut.

”Masih atheis kah?”

”Ndak ji tawwa Kyai, agnostik mi.” Celoteh Yusran dengan sedikit senyum menghiasi raut wajahnya.

”Apa sede itu?”

”Percaya Tuhan tapi tidak percaya agama. Kalau atheis, tidak percaya Tuhan dan nassami tidak percaya tong agama.” Yusran menjelaskan. Kyai Saleh manggut-manggut.

”Angin apa yang membawa mu kemari, nak Gilang?” Tanya Kyai Saleh.

”Mauja datang diskusi Kyai. Agak-agak sumpek saya rasa belakangan ini. Pertemuan terakhir ta, dua tahun yang lalu sedikit mengubah cara pandang ku terhadap Tuhan dan agama.”

”Alhamdulillah.”

Kyai Saleh manggut-manggut sembari menyeruput kopi. Tak lama berselang, Sampara datang dengan cerek berisi kopi dan sepiring pisang goreng.

”Cuma saya masih bingung, mengapa agama sulit sekali membuktikan keberadaan Tuhan.”

”Oh ya?”

”Buktinya, masih banyak orang yang tidak percaya Tuhan di dunia ini. Saya pun masih kadang-kadang ragu dengan keberadaan Tuhan. Karena kayak tidak terbukti.”

”Tuhan yang tidak bisa dibuktikan atau tidak ada alat di dunia ini yang bisa membuktikan Tuhan?” Tanya Kyai Saleh.

Kening Gilang mengkerut.

”Pernyataanta ini spekulatif, Kyai. Agama memang tidak bisa membuktikan keberadaan Tuhan. Hanya level argumentasi yang spekulatif saja Kyai.”

Kyai Saleh tidak serta merta merespons. Dia senang melihat keberanian Gilang mengajukan pendapat.

”Yang luput dari perhatianmu adalah tentang realitas itu sendiri.”

”Maksudnya Kyai?”

”Filsafat itu mengenal istilah ”Yang ada”. Apalagi istilahnya?”

”Ontologi, Kyai.”

”Nah itu. Yang ada adalah konsep dari semua ekstensi termasuk yang tidak ada. Tidak ada sendiri dalam filsafat itu ada. Karena tidak mungkin bisa dijelaskan kalau benar-benar tidak ada. Ada secara eksistensial atau tidak ada adalah ontologis. Ilmu lain menyebutnya realitas eksternal. Bersifat fenomena, misterius, dan menggoda untuk diungkap.”

Yusran terperangah. Dia jarang melihat Kyai Saleh versi filsafat, seperti sekarang ini. Gilang pun terlihat kaget. Dia tidak menduga seorang Kyai kampung bisa memiliki basis pemahaman filsafat.

”Di level kedua, metode, cara memahami realitas, yang ada termasuk yang tidak ada. Apalagi istilahnya dalam filsafat?”

”Epistemologi, Kyai.” Yusran menjawab.

”Nah itu. Di level inilah yang kita sebut konsepsi, asumsi, kesimpulan, pengetahuan, dan bahkan kebenaran diketahui. Sifat dasarnya terbatas. Fokusnya berbeda. Termasuk Tuhan. Orang-orang Atheis selalu berakhir pada pembuktian. Yang disebut pembuktian adalah rasional, sebab-akibat, dan empiris. Pada dasarnya ini epistemologi. Pembuktian secara empirik adalah satu dari sekian metode pembuktian, tetapi bukan satu-satunya. Ini disebut realitas internal. Orang beragama menggunakan metode lain, yaitu percaya. Percaya tidak membutuhkan pembuktian empiris. Semakin misterius, kepercayaan semakin menarik dan semakin kuat. Semakin empirik, kepercayaan semakin melemah dan tidak menarik.”

Kyai Saleh berhenti sejenak.

”Tadi kita bilang ada realitas eksternal, berarti ada realitas internal?” Yusran akhirnya terpancing untuk bertanya.

”Itu tadi. Asumsi, pandangan, perspektif adalah realitas internal. Setiap kelompok atau bahkan individu dalam kelompok memiliki potensi untuk berbeda, apabila realitas internalnya berbeda. Orang-orang atheis dan beragama selalu berbeda karena realitas internalnya beda. Tuhan ada bagi kaum beragama dan Tuhan tidak ada bagi kaum atheis berada di realitas internal. Itu sama sekali tidak memengaruhi realitas ketuhanan. Ketika orang Atheis memahami Tuhan tidak ada, itu untuk kepentingannya sendiri. Itu tidak mengubah apa-apa kecuali dirinya. Orang yang beragama yang meyakini Tuhan ada, juga untuk dirinya. Dengan itu dia menjadi taat beragama. Dua pandangan ini, tidak mengubah realitas eksternal.”

”Jadi kebenaran dimana Kyai?”

”Kebenaran dengan pandangan apa? Ketika pandanganmu dan pandanganku berbeda, lalu bagaimana menetapkan kebenaran untuk kita”

”Tidak ada kebenaran mutlak memangkah Kyai?”

”Ada. Kita mengenal istilah universal. Disepakati bersama oleh semua kelompok epistemologis. Dan bisa berlaku di semua tempat. Biasanya ini kita sebut nilai universal. Tetapi kalau sudah bicara konsep, maka agak sulit menemukan kebenaran yang tanpa penolakan.”

”Kenapa bisa begitu, Kyai?”

”Yaaa, karena tempat konsep itu di dalam realitas internal. Realitas internal ini sangat subyektif dan berbeda-beda.”

”Jadi, apa yang harus dilakukan kalau begitu?”

”Respek. Kalau sudah paham metode berfikirnya berbeda, jangan menuntut keseragaman. Mari saling menghargai saja.”

”Tetapi kami yang agnostik dan atheis selalu dianggap menyimpang.”

”Kalian pun menganggap kaum beragama manipulatif. Yang kamu pertanyakan ini sudah ranah politik kebenaran. Saya pernah baca istilah relasi kuasa. Dimana kelompok yang kuat akan menentukan kebenaran. Begitulah dunia kita.”

”Apa kah orang tidak boleh berubah?”

”Perubahan adalah keniscayaan. Manusia itu bersifat nisbi. Ada banyak faktor yang bisa mengubah seseorang. Agama punya metode pengubah namanya dakwah, akhlak dan keteladanan. Kalian mungkin punya metode namanya dialog. Perubahan akan terjadi apabila realitas internalnya sudah semakin sama.”

Suasana senja telah meraja. 30 menit lagi waktu Magrib akan tiba. Yusran tahu kalau Gilang tidak mungkin ke masjid untuk Salat Magrib. Dia segera pamit pulang dan menggamit Gilang untuk segera bergerak pergi.

582 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
41
+1
16
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350