Yusran segera ke garasi begitu menerima kunci mobil dari Kyai Saleh. Hari ini Kyai Saleh mengajak Yusran dan Tesa ke kios kopi Baba Kiong. Ini adalah penjual kopi bubuk langganan Kyai Saleh. Sejak menemukan Kios Baba Kiong, Kyai Saleh sudah tidak berpindah tempat lagi. Hanya di tempat ini, Kyai Saleh memercayakan selera kopinya.
Waktu tempuh menuju kios Baba Kiong biasanya hanya sekitar 20 menit saja. Hanya saja, situasi jalanan di Kota Makassar sudah semakin padat. Waktu tempuh pun bertambah hingga dua kali lipat dari yang seharusnya. Apalagi kios yang mereka tuju itu berada di wilayah tengah kota.
Setelah berhasil melampui kemacetan, mereka pun tiba di Kios Baba Kiong. Kios ini terbilang sederhana dan sudah tua. Kyai Saleh segera turun bersama Tesa. Sedangkan Yusran mencari posisi yang tepat untuk memarkir mobil.
Suasana kios sepi. Tidak ada orang yang menjaga seperti biasa. Kyai Saleh mengetuk pintu kios. Tampak tak ada jawaban.
”Tidak ada orang kapang, Kyai” Kata Tesa
”Tapi, kalau tidak ada, kenapa kios ini terbuka?”
Setelah beberapa menit menunggu, Baba Kiong akhirnya keluar.
”Eh, kyai. Adaki pale?” Sapa Baba Kiong
Kyai Saleh menganggukkan kepala.
”Saya kira tidak ada orang, hampirma pulang!” Kata Kyai Saleh.
”Anu Kyai. Cucuku sakit. Ini terbangun-bangun. Jadi saya gantian sama istri menjaga.”
”Sakit apa?”
”Ndak tahu. Kayaknya sakit perut.”
”Berapa usianya?”
”Kira-kira dua bulan lagi dua tahun Kyai”
Tidak lama berselang istri Baba Kiong keluar dengan menggendong anak kecil yang meraung-raung menangis.
”Bangunmi.” Kata Baba Kiong dengan wajah cemas. Istri Baba Kiong mengangguk. Wajah sang istri tak kalah cemasnya.
Suasana menjadi menegang. Tak ada suara selain raungan si anak kecil.
”Bisa saya lihat?” Kata Kyai Saleh. Baba Kiong dan sang istri memandang sejenak lalu mengangguk bersamaan.
Kyai Saleh meraih anak itu. Badannya terasa panas. Kyai Saleh segera menyentuhkan ibu jari ke pusar anak bayi itu. Raungan sang bayi tiba-tiba mereda.
”Bisa buatkan air hangat.” Pinta Kyai Saleh.
Istri Baba Kiong segera beranjak dan setengah berlari menuju area dapur. Tak lama kemudian, dia datang membawa secangkir air hangat.
Kyai Saleh segera meraih gelas itu. Mulut Kyai Saleh terlihat komat-kamit. Sang Kyai lalu meniup air tersebut.
”Kasih minumki.”
Baba Kiong menuruti perkataan Kyai Saleh. Anak kecil itu disodorkan minuman. Mungkin karena kehausan gara-gara terlalu lama menangis, anak kecil itu terlihat lahap meminum air.
Setelah kembali menangis beberapa jenak dengan tangisan kecil, si anak kecil tertidur pulas.
”Terima kasih, Kyai.” Kata Baba Kiong. Sedangkan sang istri beranjak masuk bagian dalam rumah.
Baba Kiong segera menyiapkan kopi pesanan sang Kyai.
”Kali ini jangan maki bayar.”
”Eh tidak boleh.” Kyai Saleh menolak tawaran Baba Kiong.
”Sudah maki tolong cucuku.”
”Itu kebetulanji Baba. Tidak ada hubungannya dengan kopi ini. Saya datang sebagai pelanggan.” Kata Kyai Saleh sembari mengeluarkan sejumlah uang. Baba Kiong hanya bisa pasrah dengan wajah yang terharu.
Yusran segera berlari ke arah mobil begitu mendapatkan kode dari Kyai Saleh.
******
”Kenapaki tidak mau dikasih gratis, Kyai?” Tanya Tesa ketika mobil sudah bergerak menjauhi kios Baba Kiong.
”Baba Kiong ini termasuk China miskin. Warung kopi ini satu-satunya penghasilan keluarganya. Tidak elok kalau dia memberikan saya secara percuma.”
”Tapi kalau bisa saya tahu, apa tadi kita baca waktu tiup-tiup itu air?” giliran Yusran yang bertanya.
”Surah Alfatihah dan shalawat tiga kali.”
”Tetapi bukan Islam tadi itu, Kyai.”
”Karena itulah saya bacakan alfatihah dan shalawat.”
Tesa dan Yusran saling berpandangan. ”hubungannya Kyai?”
”Surah alfatihah ada basmalah. Ini satu-satunya surah dalam Alquran dengan basmalah dianggap sebagai ayatnya. Di dalam basmalah itu ada kata rahman dan rahim. Dua sifat Tuhan dari akar kata yang sama. Rahman berarti pemberian Tuhan kepada semua makhluknya. Apakah makhluknya itu beriman atau tidak. Sedangkan shalawat kepada Nabi adalah pemaknaan bahwa Nabi diutus sebagai simbol universal. Rahmatan lil alamin.”
Yusran dan Tesa manggut-manggut.
”Saya ingat Kyai. Ada teman saya tidak percaya metode jampi-jampi sebagai metode pengobatan. Katanya bersifat kebetulan ji itu.” Kata Tesa.
”Bisa jadi temanmu benar. Saya tidak bisa membuktikan secara ilmiah tentang metode tiup-tiup ini. Bukan berarti tidak bisa dibuktikan secara ilmiah berarti salah. Tetapi sulit mengajak orang percaya. Salah satu keistimewaan metode ilmiah adalah orang bisa diajak percaya dengan mudah karena rasional, empiris, dan ada rumusnya. Nah, kalau jampi-jampi buktinya hanya di sembuh atau tidak.” Kata Kyai Saleh.
”Tapi ada pernah saya baca buku the miracle of water. Tulisan ilmuwan Jepang Masaru Emoto. Dia melakukan penelitian tentang air. Menariknya, dia bilang awalnya bukan karena penelitian ilmiah, tetapi penelitian kebudayaan.” Yusran menyela.
”Maksudnya Yus?”
”Jadi dia tertarik melihat fenomena beberapa kebudayaan yang menggunakan air sebagai media penyembuh. Dia melakukan riset panjang. Dia berkesimpulan kalau air ini memiliki kristal yang bisa berubah-berubah bentuk. Dia juga berkeyakinan bahwa air bisa merespons kata-kata.” Yusran menjelaskan.
”Wah ini menarik, nak Yusran. Riset-riset ilmiah seperti ini memang harus banyak dikembangkan oleh para ilmuwan. Kebudayaan dan tradisi masyarakat Indonesia adalah laboratorium sosial yang menanti pendekatan baru. Selama ini tradisi masyarakat Indonesia dipertentangkan dengan tradisi modern. Akhirnya kesimpulan berakhir kalau tradisi itu klenik, tahayul, dan harus ditinggalkan. Apa akibatnya, tradisi-tradisi yang mungkin saja mengandung kekayaan dan inti kehidupan terpaksa ditinggalkan hanya karena pemikiran rasional tidak sanggup menjangkaunya. Seperti metode jampi-jampi tadi.”
”Tetapi kalau baca-baca tadi, darimanaki dapat Kyai.”
”Dari kakek. Kakek saya itu dulu dikenal sebagai sanro. Salah satu bacaan yang paling sering digunakan adalah alfatihah dan salawat. Waktu kecil saya sering ikut beliau, termasuk ketika mengobati Made Sukardana dulu.”
”Teman Kyai yang minggu lalu datang?”
Kyai Saleh mengangguk, ”Ya. Keluarga pak Made itu transmigran dari Bali. Waktu Gunung Agung meletus tahun 80an kalau tidak salah, banyak orang Bali berpindah tempat. Termasuk keluarga Pak Made. Nah, waktu kecil pak Made hampir meninggal dunia. Kakek saya yang obati. Dengan izin Allah bisa sembuh. Sejak itu, keluarga kami jadi akrab. Karena Ayahnya Made sering berkunjung ke rumah.”
Siang semakin meraja. Panas terik matahari semakin terasa. Mereka tiba kembali ke rumah Kyai Saleh bersamaan dengan suara Sampara sedang mengumandangkan azan di masjid Kampung Kalimana.