Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
#Kiyai SalehFiksi

Serial Kyai Saleh #11: “Vuca Bani”

643
×

Serial Kyai Saleh #11: “Vuca Bani”

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
24
+1
9
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Para santri Kyai Saleh yang sedang berkumpul di teras rumah Sang Kyai mengernyitkan dahi. Dari arah gapura rumah, seorang lelaki paruh baya berpakaian rapi muncul.  Orang ini terlihat asing. Tak satupun dari santri Kyai Saleh mengenalnya.

”Assalamu alaikum.”

”Wassalamu alaikum.” Jawab para santri.

”Ini masih rumah Kyai Saleh kan?” tanya lelaki itu.

Para santri mengangguk pelan sembari menelisik wajah lelaki itu. Sampara segera berinisiatif ke dalam rumah untuk memberi tahu Sang Kyai.

Tak lama berselang, Kyai Saleh keluar. Lelaki itu berdiri dengan senyum merekah. Dalam beberapa jenak, mata Kyai Saleh berbinar.

”Made? Itu kamu?”

Lelaki yang disebut Made itu mengangguk kepala. Kyai Saleh segera menyambut pelukan hangat.

”Wah masih ingat rumah saya rupanya.” Kata Kyai Saleh.

”Bagaimana bisa lupa? Kyai adalah satu-satunya sahabat saya di kota ini.”

”Mengapa tiba-tiba ada di sini?” tanya Kyai Saleh setelah mempersilahkan tamunya duduk. Para santri berpindah tempat dan memberi ruang kepada lelaki itu.

”Saya ada undangan keagamaan komunitas Hindu di sini. Sudah selesai tadi pagi. Saya rasanya berdosa kalau tidak sowan ke Kyai Saleh.”

Kyai Saleh tersenyum kecil sembari memberi isyarat ke Sampara untuk membuat kopi.

”Kopi Pak Made jangan kasih gula.”

”Wah… masih ingat juga, Kyai.”

Para santri melongo. Mereka tidak menyangka Kyai Saleh memiliki sahabat akrab beragama Hindu.

Suasana reuni terasa nyata bagi kedua lelaki paruh baya itu. Keduanya terlibat dalam perbincangan seru dengan melibatkan tawa setiap jeda. Ais, Tesa, Yusran, dan Sampara hanya bisa menikmati suasana itu.

”Kyai. Kita tahu istilah vuca bani?” tiba-tiba Ais bertanya memanfaatkan keheningan yang tercipta tiba-tiba.

Kyai Saleh dan Made Sukardana mengalihkan pandangan ke Ais.

”Istilah apa sede itu?” Tanya Kyai Saleh mengernyitkan dahi.

”Ini istilah menunjukkan situasi sekarang, Kyai” Made Sukardana yang menjawab.

”Oh ya? Apa itu maksudnya?” Kyai Saleh kembali bertanya.

”Itu singkatan. Vuca itu singkatan dari volatile artinya tidak pasti, cepat berubah. Uncertain. Tidak menentu. Complex ya kompleks. A nya Ambigous artinya ambigu.” Jawab Made Sukardana dengan cepat dan lancar.

”Wah teman Kyai Saleh keren.” Puji Tesa.

”Wajarlah. Selain tokoh agama dia juga seorang dosen di Bali.” Kata Kyai Saleh.

”Terus Bani?”

”BANI juga singkatan dari Brittle artinya rapuh. Anxious, cemas. Non-linear, acak. Incomprehensible, tidak komprehensif. Parsial.”

”Kedua kata itu maksudnya apa?” Kyai Saleh kembali bertanya.

”Ini melambangkan situasi kita saat ini yang tidak menentu, ambigu, labil, kecemasan meningkat. Vuca Bani adalah pintu gerbang menuju krisis global. Apabila setiap bangsa tidak melakukan intervensi-intervensi. Di Jepang muncul tradisi baru. Hikikomori.”

”Apa itu, Pak?”

”Tradisi mengisolasi diri dari lingkungan sosial.” Kata Made Sukardana sembari menyeruput kopi.

”Apa ini tanda-tanda kiamat, Kyai?” Yusran bertanya.

”Bisa jadi.” Jawab Kyai Saleh singkat.

”Kalau dalam agama kami, kita memang sedang memasuki periode Kaliyuga.”

”Maksudnya Pak?”

”Periode kegelapan. Manusia memasuki era ketidakjujuran, tindakan kekerasan, kekuasaan bertindak semena-mena. Dan banyak lagi situasi lainnya. Jadi dalam kepercayaan kami, manusia yang hidup di era Kaliyuga ini harus berjuang lebih keras untuk hidup lebih baik karena kejahatan telah menjadi norma.”

Para santri terdiam. Made Sukardana melirik arlojinya. Lalu pamit pulang.

”Mengapa terburu-buru?”

”Saya masih ada kegiatan lanjutan Kyai. Terima kasih sudah dijamu.

Para santri Kyai Saleh menyalami Made Sukardana dengan penuh takzim.

”Kalau pandangan Islam bagaimana Kyai?” tanya Yusran beberapa jenak setelah kepergian Made Sukardana.

”Ada banyak narasi tentang kehidupan menjelang kiamat. Kalau mendengar penjelasan Pak Made tadi agak mirip dengan suasana dengan keluarnya Yajuj Majuj. Dua sosok yang akan menciptakan kerusakan dan kekacauan di muka bumi. Situasi menjadi tak terkendali. Agak mirip situasi dari apa tadi itu, Vuca Bani.”

”Berarti cocok dengan penjelasan tentang Kaliyuga?”

”Saya tidak tahu. Kita punya konsep berbeda dan cara pandang berbeda-beda. Jadi saya tidak bisa bilang apa ini sama atau tidak. Intinya kita berada di bumi yang sama, dengan kewaspadaan yang sama.”

”Apa yang harus dilakukan Kyai?”

”Tenang saja. Lakukan kebaikan di sekitar kita saja. Islam datang dengan optimisme terhadap situasi apapun. Ingat! Nabi Muhammad diutus di situasi yang lebih rumit dari yang kamu bayangkan. Itu era jahiliyah. Tetapi keteguhan hati seorang Nabi bisa mengubah situasi gersang nilai kemanusiaan itu menjadi mata air kebaikan. Tidak hanya untuk mengairi Mekkah dan sekitarnya tetapi menggenangi dunia melalui kita umat Islam.”

Situasi kembali hening.

”Dalam satu hadis, diceritakan bahwa jika masih ada manusia berzikir kepada Allah, maka kiamat tidak akan terjadi.”

”Kok bisa begitu, Kyai?”

”Bagi saya itu optimisme. Nabi tidak meminta kita untuk menyerah terhadap situasi. Menghubungkan diri dengan Tuhan berarti menghubungkan dengan energi yang tak terbatas. Orang berzikir ini lah intisari keseimbangan.”

Wajah Yusran mengkerut. Penjelasan Kyai Saleh rumit dan tak mudah dicerna oleh otaknya. Beberapa bagian dalam dirinya seperti ingin menolak argumen Kyai Saleh kali ini.

”Berzikir adalah proses menjadi manusia paripurna. Berzikir bukan melafadzkan kalimat-kalimat suci. Berzikir adalah proses menghubungkan diri. Coba tutup mata dan rasakan. Bahwa saat ini ada 7 milyar manusia menginjak planet yang sama. Lalu hubungkan ingatanmu kepada zat pencipta. Pusat segala kehidupan. Ini praktik berzikir yang seharusnya. Orang yang berzikir dengan tepat akan menjadi energi dunia.”

”Saya masih belum bisa terima ini, Kyai.” Akhirnya Yusran mengungkapkan hatinya.

”Alam ini telah dirusak oleh sistem kapitalisme. Bagaimana bisa zikir bisa menyelamatkan dunia.”

”Kalau otakmu menggunakan rumus benar-salah. Hitam-putih. Wajar kalau kamu berfikir seperti ini. Tetapi dunia pernah mengalami transisi. Ingat ketika manusia lenyap di zaman Nabi Nuh. Dunia menemukan caranya untuk bertahan. Manusia spritual di atasnya dibutuhkan. Manusia spritual bukan hanya yang di masjid, tetapi juga yang memegang kapak, gergaji, tambang, teknologi. Manusia yang selalu menghubungkan ingatannya kepada Pemicu Kehidupan.” Lalu hening. Magrib sebentar lagi tiba. Para santri pun pamit pulang. Mereka bersiap-siap untuk salat jamaah di masjid.

574 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
24
+1
9
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350