Dunia maya Indonesia kembali menggeliat. Percakapan tentang kedatangan Paus Fransiskus, pemipin tertinggi umat Katolik dunia menjadi hangat di media sosial. Pada mulanya, kedatangan Paus ini serupa kunjungan biasa dan tidak memantik perdebatan. Hingga munculnya edaran dari Kominfo yang menghimbau agar azan yang biasanya diperdengarkan di tv nasional diganti dengan running text. Gaduhlah!
Kegaduhan itu pun tiba di Kampung Kalimana. Tesa yang memang sangat media-holic ikut merasakan kegaduhan dan terlibat di dalamnya. Dia ikut semangat mengomentari postingan di laman resmi kominfo itu.
”Model seruan apa ini? Ini artinya menghormati agama lain tetapi tidak menghormati agama sendiri.” seru Tesa.
Yusran yang mendengar celoteh Tesa mengalihkan pandangan.
”Kenapa-ko moro-moro Tesa?”
“Inie…baca!” Tesa menyodorkan hape nya ke Yusran. Yusran membaca dengan seksama.
“Biasaji ini, kenapa ribut sekali?”
“Biasa kenapa? Masa demi agama orang lain, azan diganti running text.”
“Kutanya-ko baik-baik. Masih nonton televisi kah?’
“Sesekali kalau ada bola.”
“Saat azan Magrib dikumandangkan di televisi, kita biasanya dimana?”
“Di masjid”
“Nah, artinya azan di televisi tidak ada pengaruhnya bagi kita. Biasanya berpengaruh ke kita saat Ramadhan.”
“Bukan itu masalah nya Yusran?”
“Apa pale?”
“Pokoknya ada lain-lain kurasa dengan edaran ini.”
“Tanya mi saja nanti Kyai Saleh di pengajian.”
Suara azan Magrib berkumandang, kedua pemuda itu bergegas menuju masjid.
*****
Tesa segera mengacungkan jari begitu kesempatan bertanya dibuka.
“Pasti mau tanya Paus ini Tesa.” Yusran menyela mendahului Tesa. Santri lain memandang Yusran. Yusran keki sendiri.
Kyai Saleh sejurus memandang ke arah Tesa dan mempersilahkannya bertanya.
“Bagaimana menurut Kyai tentang perintah azan dihilangkan di teve agar siaran langsung misa Katolik tidak terhenti?”
“Apa yang menjadi keberatanmu, Tesa?”
“Kenapa harus mengalah?”
“Mengalah?”
“Iye, Kyai. Azan dihimbau untuk tidak dikumandangkan saat misa. Bukankah kita diminta mengalah namanya.”
Kyai Saleh mengangguk.
“Jika perspektifmu kalah dan menang, maka memang wajar muncul perdebatan.”
“Trus pakai perspektif apa, Kyai?”
“Toleransi itu punya tiga dasar, memahami, menghargai, dan menerima. Pemahaman terhadap situasi menuntun kita untuk menghargai dan menerima situasi. Islam menjunjung tinggi penghargaan terhadap ide kemanusiaan, tetapi tidak boleh merusak esensi syariat beragama.”
“Nah, itu maksudku Kyai. Anjuran pemerintah ini kayak memperlemah posisi umat Islam.”
Kyai Saleh tersenyum kecil mendengar agitasi Tesa.
“Begini. Azan dalam tradisi Islam menunjukkan dua hal. Penanda waktu salat dan alat untuk memanggil warga muslim untuk beribadah baik di masjid atau di tempat lain dimana orang Islam akan melakukan salat. Hukum azan adalah sunnah dan bersifat kifayah. Jadi, bukan sesuatu yang wajib dilakukan. Azan bukan rukun, bukan syarat sah, bukan wajib, tetapi sunnah. Artinya tidak azan pun tidak ada masalah. Hanya saja, karena azan telah menjadi kebiasaan, maka posisisnya sudah mendekati wajib. Agak lain rasanya kalau ada masjid tidak melakukan azan.”
Para santri terdiam. Kyai Saleh mengambil botol air minum dan meneguknya sejenak.
“Jadi ndak apa-apaji edaran itu Kyai.”
“Azan di televisi lebih bersifat syiar dan pengingat waktu masuk salat. Di era-era awal munculnya televisi, azan ini telah menjadi habit. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, dengan munculnya hape, kebiasaan berubah. Rata-rata kita menyetel suara azan di hape masing-masing. Jadi pada dasarnya himbuan itu tidak memengaruhi kita. Tokh, suara azan magrib sudah ada di ponsel kita masing-masing. Coba renungkan sebelum kasus ini, adakah yang peduli dengan azan magrib. Di antara kalian, sisa berapa orang yang rajin nonton tivi. Era tivi sebentar lagi berakhir, dan era azan di tivi juga akan segera berakhir.”
Para santri kembali terdiam sembari menanti kalimat-kalimat Kyai Saleh selanjutnya.
“Tetapi kenapa ramai pale Kyai? Kalau begitu ji posisinya.” Ais menyela sebelum sang Kyai melanjutkan.
“Nah, ini masukmi ke ranah politik. Pemicunya adalah pendekatan formal negara. Surat edaran ini pada dasarnya tidak perlu dilayangkan. Siaran langsung misa Katolik tidak akan menjadi isu kalau tidak dibenturkan dengan azan. Bahkan ketika azan ditiadakan karena siaran langsung, tidak akan ada yang protes.”
“Kenapa bisa Kyai?”
“Coba bayangkan… kalau kamu nyalakan tivi. Jam 5 sore lalu melihat misa itu. Dan semua Tivi menyiarkan hal yang sama. Apakah yang kamu lakukan?”
“Tinggalkan Kyai.” Jawab seorang santri dari arah belakang.
“Matikan Tivi, Kyai.” Jawab yang lain.
“Mengapa?”
“Karena tidak menarik.” Jawab Yusran.
“Betul. Misa Katolik bukan acara menarik bagi kita orang Islam yang jumlahnya mayoritas di Indonesia. Secara alamiah pasti tidak akan menyimak. Sama kalau siaran langsung haji di Mekkah misalnya. Umat Kristen pastilah tidak tertarik untuk menyimak. Ini namanya proses alamiah.”
Para santri terdiam.
“Atau anu juga Kyai.” Sampara tiba-tiba berbicara.
“Apa Sampara?” Sergah Yusran
“Biasa juga kalau siaran langsung PSM, nadapatki waktu salat. Biasa tidak dijeda ji dengan azan. Hanya muncul keterangan di sudut, waktu salat Magrib di wilayah Jakarta dan sekitarnya telah tiba.”
Kyai Saleh tersenyum dan manggut-manggut mendengar pernyataan Sampara.
“Jadi edaran itu kurang strategis, Kyai?” Tesa melanjutkan pertanyaan.
“Ya. Kalaupun pihak pemerintah tidak mengeluarkan edaran. Saya percaya kalian yang ada di sini bahkan tidak tahu kalau ada misa. Bagaimana caranya tau, saat misa berlangsung kalian semua di masjid. Pulang dari masjid paling buka hape, tidak ada yang nonton tivi. Paling Sampara ji”
Sampara tersenyum kecil. Para santri lain manggut-manggut.
“Itulah gunanya memahami satu basis pengetahuan dalam paradigma Ahlussunnah wal jamaah, yaitu tawazun. Tawazun adalah metode pengambilkan keputusan dengan mempertimbangkan konteks di sekitar. Strategi tawazun dilakukan dengan memahami situasi yang lebih komprehensif. Dalam kasus azan, problem utamanya adalah pada level strategi pengambilan keputusan.” Lalu hening. Dari arah kejauhan terdengar suara azan dari masjid kampung tetangga. Kyai Saleh menutup pengajian. Sampara segera berdiri dan mengumandangkan suara azan. Salat Isa akan segera dilaksanakan.