Suasana kampung Kalimana sedang antusias. Sejak pagi warga turun bergotong-royong membersihkan kampung. Umbul-umbul berwarna merah putih dipasang dengan rapi di setiap rumah, termasuk rumah Kyai Saleh. Sampara telah membeli duplikat bendera baru kemarin sore. Kini dipasang dengan gagah di bagian halaman depan rumah Kyai Saleh. Sampara terlihat puas melihat kain merah putih berkibar gagah di udara.
Dua hari berselang, warga memenuhi halaman kantor kelurahan. Upacara peringatan hari kemerdekaan segera digelar. Ais, Tesa, dan Yusran mendapatkan giliran mengibarkan bendera merah putih. Sedangkan Kyai Saleh didaulat membaca doa seperti tahun-tahun sebelumnya. Upacara berlangsung khidmat dan berakhir seiring dengan pembacaan doa.
Para santri Kyai Saleh bersama beberapa orang warga berkumpul. Istri Sampara bersama dua orang tetangga telah berjibaku di dapur menyiapkan makanan. Makanan kali ini bernama kapurung. Makanan khas masyarakat Luwu dengan bahan baku utama dari sagu.
”Merdeka maki ini kah sebenarnya Kyai?” tanya Yusran sembari menikmati kopi Toraja dan onde-onde.
Kyai Saleh mengernyitkan dahi, ”Tidak merasa merdeka-ko, Yusran?”
”Negara kita terlilit utang besar. Kemiskinan tinggi. Kita ditentukan oleh dunia global. Kampus-kampus hanya mengelola pemikiran dari luar. Segala-galanya masih sangat tergantung dengan negara lain yang lebih kuat ekonominya. Merdekanya dimana, Kyai?”
” Yang kamu maksud ini konsep kemerdekaan. Karena itu tidak ada kemerdekaan yang bisa kau temukan. Semua negara di dunia terikat dalam satu sistem global. Tidak satupun merdeka dari sistem ini, bahkan yang berada di puncak rantai ekonomi sekalipun.”
”Saya belum mengerti, Kyai?”
”Merdeka adalah konsep yang harus disertakan konteksnya. Relasi antar manusia itu unik. Kemerdekaan ditentukan seberapa berdaulat seseorang terhadap dirinya. Tetapi tidak bisa ada yang berdaulat penuh terhadap dirinya sendiri, karena itu tidak pernah ada kemerdekaan.”
”Bingungka Kyai?”
”Merdeka itu ada sekaligus tidak ada. Tergantung konteks pengiringnya. Merdeka yang kita rayakan konteksnya adalah perjuangan melawan kolonial Belanda. Maka, kemerdekaan kita sebagai bangsa Indonesia adalah nyata. Jangan mengingkari itu.”
Kyai Saleh terdiam beberapa jenak sembari menyeruput kopi yang mulai kehilangan suhu panasnya. Para santri ikut terdiam sembari menanti kalimat Kyai Saleh selanjutnya.
”Konsep merdeka yang dikatakan Yusran tadi adalah akibat dari sistem yang dipilih oleh negara bangsa di seluruh dunia. Jika kamu lihat secara makro, tidak ada kemerdekaan antar bangsa. Semua bangsa tergantung bangsa lainnya. Kuncinya adalah keseimbangan global. Masalah internal satu bangsa bisa berakibat fatal kepada bangsa lainnya. Tentu saja, negara-negara yang kuat secara ekonomi memiliki peluang mengontrol negara lain tetapi itu tidak berarti negara lemah benar-benar berada di bawah kontrol negara seperti ketika Belanda menjajah Indonesia.”
”Trus tadi kita bilang tidak ada kemerdekaan individu. Maksudnya bagaimana Kyai?”
”Apakah kalian pikirkan tentang kemerdekaan.”
”Kebebasan, Kyai.”
”Nah.. kalau kata merdeka diartikan dengan kebebasan. Maka tidak ada kemerdekaan bahkan bagi seorang individu sekalipun.”
”Artinya seseorang tidak memiliki kebebasan?”
”Yang disebut kebebasan saja adalah definisi orang bukan definisi kita. Karena itu kebebasan beda-beda di setiap tempat. Berarti pada dasarnya kebebasan itu tergantung persepsi dan situasi. Karena tergantung berarti alamiah nya tidak bebas.”
”Semakin rumit ini barang.” gumam Sampara. Kyai Saleh tersenyum kecil melihatnya.
”Tidak rumit. kebebasan ini adalah konsep sosial. Konsep ini terhubung dengan konsep-konsep sosial lainnya. Orang yang terlihat terikat bisa jadi dia bebas. Orang yang terlihat bebas bisa jadi dia terikat. Misal ada dua orang perempuan satu memilih jadi ibu rumah tangga satu lagi memilih jadi wanita karir. Yang mana yang merdeka?”
”Kayaknya wanita karir bisa lebih merdeka karena dengan kemampuan duitnya itu, dia bisa menentukan dirinya.” Tesa menjawab dengan cepat.
”Nah, itu sudut pandang. Dua duanya bisa merdeka dan bebas sekaligus tidak. Dua-duanya bebas karena itu pilihannya. Satu perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga. Satu perempuan memilih berkarir. Dua-duanya memilih dengan sadar berarti dia sudah merdeka. Tetapi dua tempat ini punya aturan main. Misalnya berpakaian. Seorang ibu rumah tangga tidak akan menggunakan lipstik dan high heel ketika memasak di dapur. Seorang perempuan karir tidak akan mungkin menggunakan daster dan sandal jepit ke kantor. Dua-duanya diatur oleh situasi dan konteks yang telah berjalan menjadi pakem dalam masyarakat. Sampai titik ini, keduanya tidak merdeka sama sekali.’
Para santri terdiam. Yusran manggut-manggut. Tesa memilih menikmati kopi. Sedangkan Sampara hanya melongo. Percakapan kali ini di luar radar otaknya.
”Kyai. Saya pernah membaca petikan pidato Soekarno. Tugasku berat karena melawan bangsa lain tetapi tugasmu lebih berat karena akan berhadapan dengan bangsamu sendiri. Maksudnya bagaimana itu Kyai?”
”Jelas mi ini. Mau tanya apalagi?”
”Melawan bangsa sendiri, bagaimana penjelasannya?”
”Begini. Sistem politik yang dipilih oleh bangsa ini beresiko kalau tidak dipandu oleh moral. Politik adalah pintu untuk akses kekuasaan terhadap sumber daya. Jika berada di tangan begundal. Dia akan menjadi musuh. Jika di tangan orang yang tepat akan menjadi kawan. Ini cocok dengan pertanyaan Yusran tadi. Para pemimpin yang tidak memiliki panduan moral akan menjadi musuh bagi rakyatnya sendiri.”
”Menyindirki ini, Kyai?”
Kyai Saleh terkesiap. ”Sindir siapa? Itu rumus umum. Sistem politik yang kita pilih ini beresiko melahirkan musuh atau teman bagi rakyatnya sendiri. Itulah konteks pidato Bung Karno. Sebagai pengingat kepada siapapun yang berniat menjadi pemimpin politik di negara ini di semua level. Jadilah teman rakyat bukan menjadi musuh”
”Caranya Kyai”
”Negara kita sudah punya panduan. Pancasila. Ikuti saja satu persatu sila-nya. Kita akan menemukan situasi yang baik. Kemerdekaan hakiki sebagai bangsa bisa ditemukan.”
”Apakah kita sudah berada di titik ini?”
”Kita terus belajar dan berupaya. Pemerintah kita sudah berupaya semaksimalnya. Kita wajib mengapresiasinya.”
Yusran tersenyum. Kalimat Kyai Saleh sedang menunjukkan level pemerintah kita. Kata belajar dan berupaya cukup menjadi penanda baginya tentang situasi terkini.
”Intinya.. Merdeka Indonesiaku. Mari makan!! ” Teriak Sampara begitu melihat istrinya dan dua orang lainnya datang membawa parade hidangan makanan. Sampara sigap membantu dengan menyediakan piring dan mangkuk untuk Kyai Saleh. Waktu telah menunjukkan pukul 11.30. Kyai Saleh dan para santrinya berbaur dalam pentas makan siang. Para santri membubarkan diri ketika waktu Dhuhur telah tiba.
Terima kasih atas kunjungan anda, nantikan episode Kiyai Saleh selanjutnya hanya di Kalosara.id. Salam Harmoni.