Habis-mi pertahanan. Tesa berteriak dengan suara sedikit meninggi. Wajahnya terlihat gusar. Berita yang baru saja dibacanya membuat emosinya sedikit membuncah.
”Kenapaiko Tesa?” Yusran yang berada di sampingnya menegur.
”Ini… Muhammadiyah resmi menerima konsesi tambang dari pemerintah”.
”Iyo-di. Saya juga baru baca tadi. Heran tong-ka”.
Tesa wajar kesal. Ketika NU terlebih dahulu menerima konsesi tambang, dia telah meluapkan kemarahan melalui status-status kritis di laman media sosialnya. Kala itu, dia menjadikan Muhammadiyah sebagai ”panutan” karena terlihat akan menolak ide pemberian konsesi tambang. Dia sangat aktif mengikuti laman-laman diskusi online yang bertema tambang.
Kali ini dia terhenyak. Ketika berita dari situs terpercaya mengabarkan tentang perubahan di organisasi Muhammadiyah.
Entah kenapa, dia tiba-tiba ingin mendiskusikan ini dengan Kyai Saleh.
Meski Tesa sedikit bimbang karena Kyai Saleh selalu menolak untuk membicarakan urusan tambang ini.
”Bukan keahlian-ku urusan begini.” Jawab Kyai Saleh tempo hari ketika para santri memancingnya dengan pertanyaan. Segera setelah itu, para santri tak mau lagi bertanya kepada Kyai Saleh.
Namun Tesa bertekad bertanya. Dia ingin tahu pandangan Kyai Saleh yang sesungguhnya.
Situasi cukup tepat. Kyai Saleh sedang bersantai di teras rumah. Seperti biasa, secangkir kopi dan pisang goreng yang masih mengepul menyertai. Di sisinya ada Sampara yang sedang membersihkan bagian-bagian pojok rumah. Beberapa hari, Kyai Saleh memang meninggalkan rumah untuk keperluan dakwah bersama Sampara.
”Kau tau ji Tesa to!.. Saya tidak mau komentari urusan politik begini.” Kata Kyai Saleh begitu Tesa menyerangnya dengan pertanyaan yang menggelayuti perasaannya.
”Masalah politik?” Tesa sedikit mengkerutkan dahi.
”Ya.. ini hubungan antara negara dan warga. Negara diwakili pemerintah, warga diwakili ormas. Ini ranah politik to.”
”Tapi kan harusnya ditolak to. Masa tokoh NU dan sekarang Muhammadiyah tidak memahami betapa mengerikannya bisnis tambang di Indonesia.”
Kyai Saleh hanya terdiam. Sepertinya, lelaki tua itu enggan menanggapi pancingan Tesa.
Dalam beberapa jenak, suasana menjadi hening. Tesa menanti, Kyai Saleh enggan berkata.
”Atau apakah organisasi keagamaan telah kehilangan orientasi, Kyai?”
”Sebaiknya hati-hati berpandangan begitu, Tesa! Organisasi keagamaan ini berisi orang yang lebih saleh dan lebih berkualitas dari dirimu.” Kyai Saleh terpancing. Kalimat Tesa telah berada di titik hampir melewati batas.
”Jangan biasakan dirimu membangun asumsi dengan hanya berdasarkan pada berita. Fenomena itu adalah lautan yang luas. Selami sedalam-dalamnya baru mengambil pegangan. Kesalahan kita sekarang adalah terburu-buru mengambil pandangan tanpa memahami konteks dengan baik.”
”Lalu apa konteksnya Kyai?” Tesa senang dalam hati karena berhasil memancing Kyai Saleh ke dalam pertanyaan-pertanyaannya.
”Saya juga tidak paham. Itulah sebabnya saya tidak mau terlalu banyak komentar. Saya pahamji maksudmu. Sejarah tambang di Indonesia adalah sejarah kelam. Data-data yang berseliweran menunjukkan kalau manfaat tambang lebih kecil dari kerusakan yang ditimbulkannya. Tentu saja, kalian merasa tidak cocok NU atau Muhammadiyah atau ormas keagamaan masuk di sini”
”Nah, betul Kyai. Itulah mengapa kami sangat menyayangkan NU dan Muhammadiyah main di area ini.”
”Tetapi kan, NU dan Muhammadiyah punya konsepsi lain. Saya baca beritanya mereka ingin memberikan model lain yang berbeda dengan yang kalian bicarakan. Artinya, tentu mereka sadar dengan kondisi yang buruk ini. Dan, mereka mau hadir sebagai solusi, bukan menambah masalah. Bukankah itu baik?”
Tesa terdiam. Raut wajahnya sedikit kecewa. Dia tidak menyangka Kyai Saleh malah terkesan membela NU dan Muhammadiyah.
”Kenapa kayak kita bela NU dan Muhammadiyah, Kyai. Na-Tesa kasih data-data tentang kerusakan. ” Sampara tiba-tiba menyela.
”Saya tidak membela. Saya mencoba memahami dua konteks yang berbeda. Dua-duanya punya alasan untuk bertindak. Di level masing-masing, dua-duanya benar.”
”Tapi kalau Kyai Saleh sendiri cenderung kemana, menolak atau menerima tambang?”
Kyai Saleh tersenyum tipis. Santrinya ini menyerang dengan pertanyaan, yang apapun jawabannya punya konsekwensi.
”Saya memilih menambang cinta bumi.”
Tesa dan Sampara saling berpandangan. Keduanya tidak menduga kalau Kyai Saleh akan berkelit dari jebakan pertanyaan Tesa.
”Maksudnya, Kyai?”
”Bumi adalah sumber kehidupan. Manusia yang hidup di atas bumi, sangat tergantung pada bumi. Air, udara, sinar matahari, dan cuaca sejuk adalah ekosistem bumi yang menopang kelangsungan manusia dari generasi ke generasi. Keseimbangan adalah nadinya.”
Kyai Saleh terdiam sejenak sembari menyeruput kopi.
”Keserakahan manusia yang mengeksploitasi perut bumi menipiskan keseimbangan. Bencana alam datang, dan manusia terancam. Para pemilik modal ini bermaksud ingin menambang kekayaan alam untuk manfaat kehidupan tetapi mereka pada dasarnya menambang amarah bumi. Masuk area ini butuh kekuatan besar dan nyali tinggi. Bukan sekadar tujuan-tujuan kemanfaatan. Jebakan utamanya adalah keserakahan! Jika para penambang dari kalangan agamawan ini bisa mengendalikan keserakahan, maka tambang ini bisa bermafaat. Tetapi sekali lagi, butuh kekuatan besar dan nyali tinggi. Bukan sekadar keinginan.”
Kyai Saleh berhenti sejenak. Sampara menanti penjelasan berikutnya. Tetapi Kyai Saleh malah memperpanjang jeda kalimatnya.
”Trus, maksudnya menambang cinta bumi, Kyai?”
Kyai Saleh tersenyum kecil lalu melanjutkan kalimatnya. ”Bayangkan jika warga NU Muhammadiyah, Katolik, Kristen, Khonghucu, Hindu, Buddha mendatangi lokasi tambang yang telah rusak, hutan yang telah gundul dengan menanam pohon. Maka, bumi kembali tersenyum. Dia memberi cintanya kepada kita berupa lingkungan yang sehat. Tugas kemanusiaan kita, tugas organisasi ini dibentuk adalah menjaga keseimbangan hidup dengan nilai agama, merawat alam bukan merusaknya. Jika ada yang merusaknya, tidak perlu berdebat panjang. Datangi, tanami, rawati, dan cintai. Tambang cinta bumi, maka bumi akan memberikan kita harta yang lebih mahal dari benda manapun di dunia ini. Udara yang bersih!.