Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
FiksiMotivasi

“Sepenggal Kisah Nostalgiaku di Negeri Kincir Angin Saat Musim Dingin”

203
×

“Sepenggal Kisah Nostalgiaku di Negeri Kincir Angin Saat Musim Dingin” <div class='awpa-single-post-star-variation' attributes='[{"ratings":{"id_1":5},"sum":5,"count":1,"avg":5,"people_count":{"count_5":1}}]' show_star_rating='1' rating_color_back='#EEEEEE' rating_color_front='#ffb900' rating_type='5' show_avg='', show_star_type='' show_votes='' star_size='x-small'></div>

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
1
+1
3
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Hari itu, aku terbangun oleh hawa dingin yang menusuk tulang. Kutatap jendela apartemenku yang diselimuti salju tebal, seakan menyembunyikan dunia luar dari pandanganku. Inilah salah satu pagi di musim dingin, di negeri yang dijuluki “Kincir Angin”, tempat aku menuntut ilmu jauh dari tanah airku, Indonesia.

Dengarkan tulisan dengan audio

Sudah beberapa dekade berlalu sejak pengalaman tak terlupakan itu, namun kenangannya masih terpatri jelas dalam benakku. Aku ingin berbagi kisah ini kepada sahabat-sahabatku, terutama mereka yang pernah menimba ilmu bersamaku di INIS. Kuharap mereka bersedia menerima surat ini sebagai sebuah nostalgia yang menghangatkan hati.

Belanda, negeri yang kini kutapaki, mengenal empat musim yang begitu kontras perbedaannya. Ada spring yang sejuk, summer yang hangat, autumn yang memesona dengan warna-warni dedaunan, dan winter yang membekukan. Tak heran, sapaan umum di antara penduduk lokal adalah, “Bagaimana cuaca hari ini?” Berbeda dengan Indonesia yang hanya mengenal dua musim, kemarau dan hujan. Bahkan orang Belanda sering berkelakar, jika sesama orang Indonesia berjumpa, pertanyaan utamanya adalah, “Di mana kita makan?”

Musim dingin di sini benar-benar menguji ketahanan fisik dan mentalku. Tanpa verwarming atau pemanas ruangan, tidur di malam hari bagai siksaan. Angin dingin seolah bisa menyelinap masuk dari celah sekecil lubang tikus. Alat pemanas menjadi barang wajib di mana pun kau berada: di mobil, di hotel, bahkan di gereja-gereja tua yang kini disulap menjadi pasar barang bekas atau Rommelmark.

Aku takjub melihat bagaimana musim dingin mengubah kebiasaan berpakaian penduduk lokal. Jika di musim panas mereka cukup mengenakan satu lapis pakaian tipis, maka di musim dingin mereka harus mengenakan tujuh lapis pakaian tebal agar terhindar dari hipotermia. Namun, yang paling mengagumkan adalah semangat dan disiplin mereka. Para dosen tetap mengajar tepat waktu meski didera cuaca ekstrem. Etos kerja yang tinggi ini mungkin menjadi salah satu kunci kemajuan negeri ini.

Pada suatu akhir pekan di musim dingin, aku berencana mengunjungi Rommelmark setelah rutinitasku menjemur pakaian. Tak disangka, sekembalinya dari pasar satu jam kemudian, aku dikejutkan oleh pemandangan halaman apartemen yang sudah diselimuti salju setebal lutut. Pakaian yang semula kujemur kini berdiri kaku, seakan dikanji oleh es. Itulah momen yang tak akan kulupa, ketika aku menyaksikan sendiri betapa cepatnya cuaca bisa berubah di negeri ini.

Pengalamanku selama merantau di negeri Kincir Angin, juga petualanganku mengunjungi negara-negara lain, kini telah kuabadikan dalam sebuah buku kenangan berjudul “RIHLAH KE MANCA NEGARA“, terinspirasi dari catatan perjalanan Ibn Batutah di abad ke-15 silam.

Di sini, jauh dari keluarga dan teman-teman, aku belajar untuk menghibur diri dan mengatasi sepi. Setiap akhir pekan, aku menyempatkan diri mengunjungi Rommelmark atau pameran seni, sekedar untuk menyegarkan pikiran setelah sepekan berkutat dengan riset dan studiku.

Kini, bertahun-tahun setelah pengalaman itu, aku tersenyum mengenang masa-masa ketika aku menjadi saksi keajaiban musim dingin di Leiden. Sebuah musim yang menguji sekaligus mengajarkanku arti ketangguhan dan kegigihan dalam menggapai mimpi, tak peduli seperti apa cuaca yang menghadang di luar sana.

Flag Counter
196 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
1
+1
3
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350