Artikel “How Muslims-Christians-Jews Relations in the Qur’an? (Critical Interpretation of Q. al-Baqarah/2:120 Using Maʻnā-cum-Magzā Approach)” karya Abdul Muiz Amir merupakan studi mendalam yang merefleksikan potensi besar dalam memahami makna signifikansi teks Al-Qur’an untuk menjawab tantangan intoleransi agama. Dengan menggunakan pendekatan maʻnā-cum-magzā, artikel ini mengkritik pendekatan tekstual-literal yang kerap disalahgunakan untuk membenarkan sikap eksklusivisme. Penulis menawarkan pendekatan alternatif yang tidak hanya memahami teks Al-Qur’an dalam konteks sejarahnya, tetapi juga menerapkannya untuk menghadirkan solusi yang relevan di dunia kontemporer.
1. Pendekatan Maʻnā-cum-Magzā : Mengungkap Makna dan Signifikansi
Pendekatan maʻnā-cum-magzā yang digunakan dalam artikel ini bertujuan untuk menggali makna teks secara komprehensif melalui tiga tahap:
- Analisis Gramatikal (Maʻnā):
Penulis menyoroti struktur linguistik dan kata-kata kunci dalam Q.S. Al-Baqarah:120, seperti penggunaan kata lan (tidak selamanya) untuk Yahudi dan la (tidak) untuk Nasrani, yang menunjukkan tingkat perbedaan sikap kedua kelompok terhadap Nabi Muhammad. Analisis ini penting untuk memahami bahwa tidak semua Yahudi dan Nasrani bersikap sama, melainkan merujuk pada kelompok tertentu di Madinah dan Najran pada masa itu. - Analisis Historis:
Penulis mengungkap konteks mikro, seperti konflik politik yang melibatkan komunitas Yahudi Madinah dan Nasrani Najran, serta konteks makro, yaitu dominasi politik dan ekonomi yang dimanfaatkan melalui simbol agama. Misalnya, pergeseran arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah menjadi salah satu pemicu ketegangan antara komunitas Yahudi dengan Nabi Muhammad. - Signifikansi Kontekstual (Magzā):
Ayat ini, dalam konteks modern, tidak seharusnya dimaknai sebagai pembenaran untuk kebencian lintas agama. Sebaliknya, ayat ini mengajarkan pentingnya kewaspadaan terhadap siapa pun yang menyalahgunakan agama untuk tujuan politik dan ekonomi yang merugikan umat manusia.
2. Reinterpretasi Q.S. Al-Baqarah:120 dalam Konteks Toleransi
Artikel ini menegaskan bahwa Q.S. Al-Baqarah:120 harus dilihat sebagai peringatan terhadap penyalahgunaan agama, bukan sebagai ajakan untuk kebencian universal terhadap Yahudi atau Nasrani. Penulis menunjukkan bahwa Nabi Muhammad bahkan memiliki hubungan sosial yang harmonis dengan beberapa komunitas Yahudi dan Nasrani selama periode Madinah, seperti piagam Madinah yang menjamin hak dan kewajiban setiap komunitas beragama.
3. Konteks Sosial Keagamaan di Indonesia Menjelang Natal
Relevansi artikel ini sangat terasa dalam konteks sosial keagamaan Indonesia, terutama menjelang Natal, ketika ketegangan antaragama dapat meningkat karena kesalahpahaman atau narasi intoleransi. Beberapa poin penting yang dapat dihubungkan:
a. Menghadapi Narasi Intoleransi
Menjelang Natal, sering kali muncul kelompok yang menyalahgunakan ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk Q.S. Al-Baqarah:120, untuk menjustifikasi tindakan intoleransi. Artikel ini menjadi panduan penting untuk melawan narasi semacam itu, dengan menekankan bahwa ayat tersebut berbicara tentang konteks tertentu dan tidak mendukung kebencian terhadap komunitas agama tertentu.
b. Mempromosikan Dialog Antaragama
Melalui pendekatan inklusif, umat Islam dapat mengambil inisiatif untuk mempromosikan dialog lintas agama, terutama pada momen seperti Natal yang menjadi simbol perdamaian. Dialog ini dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan bersama, seperti diskusi antaragama, berbagi cerita tradisi, atau bahkan kerja sama sosial untuk membantu kelompok yang membutuhkan.
c. Menumbuhkan Solidaritas Lintas Iman
Natal adalah momen yang dapat digunakan umat Muslim di Indonesia untuk menunjukkan solidaritas kepada komunitas Nasrani, misalnya dengan mendukung keamanan perayaan Natal atau sekadar memberikan ucapan selamat dengan penuh penghormatan. Semangat solidaritas ini sejalan dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.
4. Inspirasi dari Kehidupan Nabi Muhammad
Artikel ini juga memberikan inspirasi dari sejarah Nabi Muhammad yang menjalani kehidupan damai dengan komunitas lintas iman. Nabi Muhammad sering mengunjungi tetangga non-Muslim yang sakit, menerima tamu Nasrani dari Najran, dan bahkan membiarkan mereka beribadah di masjid. Contoh-contoh ini menjadi teladan bagaimana umat Islam dapat menjaga harmoni sosial tanpa kehilangan identitas keagamaannya.
5. Relevansi untuk Masyarakat Plural Indonesia
Sebagai negara dengan keberagaman yang tinggi, Indonesia memerlukan pendekatan yang inklusif untuk menjaga keharmonisan. Artikel ini mengajarkan bahwa Islam memiliki fleksibilitas untuk hidup berdampingan dengan agama lain, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai teologisnya. Prinsip ini relevan untuk menciptakan kebijakan sosial yang menghormati hak semua agama, terutama dalam momen sensitif seperti Natal.
6. Menghadirkan Islam yang Inklusif
Artikel ini mempertegas pentingnya menghadirkan Islam yang inklusif di tengah masyarakat global. Pendekatan hermeneutika maʻnā-cum-magzā menjadi alat penting untuk membongkar tafsir yang salah dan menghadirkan pemahaman yang lebih sesuai dengan semangat zaman. Dengan cara ini, umat Islam di Indonesia dapat menjadi agen perdamaian yang memperkuat toleransi lintas iman.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan wawasan yang sangat relevan untuk menjawab tantangan intoleransi agama di era modern. Pendekatan maʻnā-cum-magzā menawarkan cara baru dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang sering disalahpahami, seperti Q.S. Al-Baqarah:120. Dalam konteks Indonesia, artikel ini menjadi panduan penting untuk membangun harmoni antaragama, terutama menjelang Natal, dengan menekankan nilai-nilai Islam yang inklusif dan damai. Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak hanya melindungi umatnya tetapi juga menjadi sumber inspirasi untuk menjaga persaudaraan lintas iman dan menciptakan dunia yang lebih harmonis.