Judul Buku: | Islamic Methodology in History |
Penulis | Fazlur Rahman |
Penerbit | Islamic Research Institute, Islamabad, Pakistan |
Tahun Terbit | Cetakan ke-3, 1995 (Cetakan pertama tahun 1965) |
Tebal | 208 halaman |
Pendahuluan
Buku ini membahas secara mendalam tentang evolusi historis dari empat prinsip dasar pemikiran Islam, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad, dan Ijma’. Fazlur Rahman menguraikan dengan sangat jelas tentang bagaimana prinsip-prinsip ini sebenarnya bekerja dalam perkembangan Islam itu sendiri serta penerapannya. Pentingnya prinsip-prinsip ini tidak perlu diragukan lagi, karena keempatnya bukan hanya prinsip dari Yurisprudensi Islam, namun juga seluruh pemikiran Islam.
Buku ini terdiri dari lima bab utama ditambah bibliografi dan indeks yang cukup komprehensif. Dalam bab pendahuluan, Rahman menjelaskan pentingnya kajian metodologi Islam dari perspektif sejarah untuk memahami perkembangan pemikiran Islam. Dia juga memaparkan metode yang digunakannya dalam menganalisis sumber-sumber sejarah.
Bab 1: Konsep Sunnah, Ijtihad dan Ijma’ di Periode Awal
Di bab ini, Rahman membahas secara rinci pengertian Sunnah di masa awal sebagai sebuah konsep perilaku ideal yang harus diikuti. Sunnah tidak diartikan sebagai praktik aktual melainkan diposisikan sebagai norma ideal yang dituju.
Rahman juga menunjukkan bahwa pada periode awal, ijtihad dan ijma’ memiliki hubungan organik yang erat dengan Sunnah. Para ulama melakukan ijtihad terhadap Sunnah Nabi untuk diterapkan dalam konteks yang baru. Hasilnya, terbentuklah “sunnah yang hidup (living sunnah)” sebagai hasil interaksi ijtihad dengan ijma’ (konsensus) komunitas. Sunnah yang hidup ini bersifat dinamis dan terus berkembang. Namun pada akhir abad ke-2 H, sunnah yang hidup ini mulai dibakukan dan dikristalkan dalam bentuk Hadits.
Bab 2: Sunnah dan Hadits
Bab ini fokus membahas perkembangan Hadits sebagai upaya untuk menghentikan evolusi kreatif Sunnah yang hidup menjadi aturan-aturan yang baku dan kaku. Gerakan Hadits pada akhir abad ke-2 H berusaha merumuskan hampir semua perkataan dan praktik generasi awal (Nabi, Sahabat, Tabi’in) dalam sabda-sabda Nabi secara verbal dalam rangka menciptakan kepastian hukum dan keseragaman.
Namun menurut Rahman, Hadits sebenarnya juga merupakan produk dari sunnah yang hidup dari generasi awal tersebut, bukan murni sabda Nabi yang orisinil. Ia menunjukkan indikasi-indikasi yang mendukung pandangannya ini. Gerakan hadits juga muncul sebagai reaksi atas perbedaan-perbedaan hukum dan pendapat yang tajam di berbagai wilayah.
Pada bagian akhir bab ini, Rahman mendiskusikan secara kritis hubungan antara Hadits dan Sunnah. Menurutnya, idealnya Hadits dipahami sebagai refleksi dari sunnah yang hidup, bukan sesuatu yang terpisah dan bertentangan. Materi dalam hadits harus dipahami dalam konteks historisnya. Yang abadi adalah nilai, ideal dan prinsip moral yang terkandung di dalamnya, bukan ketentuan spesifik verbalnya.
Bab 3: Perkembangan Pasca Formatif dalam Islam
Pada bab ini, Rahman mengkritik kecenderungan umat Islam pasca periode formatif (abad ke-3 H dan seterusnya) yang semakin rigid, kaku, dan tidak kreatif dalam pemikiran. Ijma’ menjadi sesuatu yang dibakukan, bukan proses dinamis seperti di masa awal. Pemikiran rasional (ra’y) juga semakin dibatasi.
Pandangan ini menurutnya dipengaruhi oleh terbentuknya ortodoksi sunni (Ahl al-Sunnah wal jamaah) yang diidentikkan dengan golongan mayoritas yang memegang jalan tengah (middle path), sebagai reaksi terhadap ekstremisme Khawarij dan Syi’ah. Namun ortodoksi ini pada akhirnya juga menjadi kaku, eksklusif dan tidak toleran terhadap perbedaan.
Rahman lalu menunjukkan implikasi dari fenomena ini terhadap berbagai aspek kehidupan umat Islam, seperti:
- Sikap politik yang pasif dan oportunistik
- Prinsip moral yang deterministik dan menyerahkan semua pada takdir
- Sufisme yang semakin spekulatif, klenik dan menjauhi realitas
- Memudarnya rasionalisme dan sains dalam pendidikan Islam.
Hal ini semua menurutnya merupakan kemunduran dan membuat pemikiran Islam menjadi stagnan dan tidak responsif terhadap tantangan perubahan.
Bab 4: Ijtihad pada Abad-abad Selanjutnya
Di sini Rahman membahas pandangan sejumlah ulama pada abad pertengahan terkait Ijtihad. Secara umum, mereka masih mengakui validitas dan signifikansi ijtihad secara teori, namun aplikasi praktisnya sangat dibatasi dan cenderung formalitas.
Banyak kontradiksi dan inkonsistensi dalam pemikiran mereka, misalnya antara pandangan teologis yang deterministik dengan praktik hukum yang mengakui kebebasan memilih. Walaupun pintu ijtihad tidak pernah benar-benar tertutup, Rahman menyimpulkan telah terjadi semacam kontraksi pemikiran selama berabad-abad yang membuat ijtihad tidak berkembang.
Bab 5: Perubahan Sosial dan Sunnah Awal
Di bagian penutup ini, Rahman menegaskan kembali bahwa generasi awal Muslim memandang ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi secara dinamis dan kreatif, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Mereka melakukan interpretasi progressif untuk menerapkan nilai-nilai dan prinsip moral tersebut ke dalam konteks baru yang berubah.
Rahman mengutip sejumlah contoh dari kebijakan Umar bin Khattab yang menunjukkan fleksibilitas dan kreativitasnya dalam menerapkan spirit Sunnah Nabi. Misalnya terkait pembagian tanah hasil taklukan, hukuman bagi pencuri di masa krisis, perbudakan dan lainnya.
Berdasarkan contoh-contoh ini, Rahman menyimpulkan generasi awal tidak terpaku pada aturan legal spesifik, tapi menarik prinsip-prinsip umum dan menerapkannya secara dinamis sesuai kondisi zamannya. Inilah yang harus dihidupkan kembali oleh umat Islam kontemporer dalam menjawab tantangan modernitas.
Kesimpulan
Inti dari argumen utama Rahman dalam buku ini adalah: Pada awalnya metodologi pemikiran Islam sangat dinamis dan kreatif, dengan sunnah, ijtihad dan ijma’ yang saling terkait secara organik. Sunnah yang hidup adalah hasil interaksi ijtihad terhadap sumber (Quran dan Sunnah Nabi) dengan ijma’ masyarakat.
Namun kemudian terjadi upaya pembakuan (lewat hadits) yang kaku yang mengkristalkan pemikiran Islam. Gerakan hadits ini berusaha menyeragamkan seluruh praktik dan ucapan masa awal sebagai sabda Nabi dan menjadikannya literal. Implikasinya, pemikiran Islam menjadi rigid dan mandek pada abad-abad selanjutnya dalam berbagai aspek.
Sebagai solusi, Rahman mengusulkan untuk kembali berijtihad secara kreatif dengan menafsirkan sumber (Quran dan Sunnah) sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat kontemporer. Baginya, yang penting adalah menangkap spirit, nilai dan prinsipnya, bukan terpaku pada aturan legal spesifik. Interpretasi kreatif yang dinamis perlu terus dilakukan, bukannya menerima doktrin secara taken for granted.
Resensi
Buku Islamic Methodology in History karya Fazlur Rahman ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam diskusi tentang pembaruan pemikiran Islam di era modern. Kekuatan utamanya terletak pada klarifikasi yang mendalam tentang konsep-konsep kunci metodologi pemikiran Islam, khususnya pemaknaan terhadap istilah Sunnah yang dinamis.
Berbeda dengan kecenderungan untuk menolak begitu saja semua pemikiran pasca generasi awal Islam, Rahman berusaha memproyeksikan apa yang telah dilakukan oleh umat Islam di berbagai masa dan tempat dalam menginterpretasikan ajaran dasarnya secara historis-sosiologis. Kajiannya dilakukan dengan mendalam, kritis namun empatik, sehingga bisa memperluas wawasan pembaca.
Rahman berhasil menunjukkan fleksibilitas dan kreativitas para ulama awal dalam menerapkan nilai-nilai dan prinsip Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sesuai kebutuhan konteks yang berbeda-beda. Ini menjadi dasar pijakannya untuk mendorong dihidupkannya kembali semangat ijtihad di zaman sekarang.
Namun demikian, pembahasan dalam buku ini banyak berkisar pada periode klasik, sehingga terkesan kurang memberikan ilustrasi aplikatif ke isu-isu kontemporer secara spesifik. Diperlukan kajian lanjutan untuk membawa insight buku ini ke permasalahan kekinian secara lebih detil.
Terlepas dari itu, karya Rahman ini tetap merupakan referensi yang penting bagi para sarjana, akademisi, dan peminat studi Islam pada umumnya yang ingin memahami prinsip-prinsip metodologis fundamental dalam pengembangan pemikiran Islam. Gaya penulisannya yang jernih dan tajam analisisnya membuat buku ini bermanfaat untuk berbagai kalangan, tidak hanya para spesialis. [AM. Amir]