Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
Bedah Buku

Masa Depan Inklusif: Internet Sebagai Alat Penggerak Solidaritas

123
×

Masa Depan Inklusif: Internet Sebagai Alat Penggerak Solidaritas

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Buku Localizing the Internet: An Anthropological Account karya John Postill menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana teknologi internet diadaptasi dan dimanfaatkan dalam konteks lokal, khususnya melalui studi kasus di Subang Jaya, Malaysia. Dengan pendekatan antropologis, Postill menggambarkan bagaimana internet bukan sekadar alat global yang homogen, tetapi sebuah teknologi yang mendapatkan makna baru ketika diterapkan di komunitas lokal dengan dinamika sosial, budaya, dan politiknya sendiri. Dalam karya ini, ia memperkenalkan konsep “field of residential affairs,” yang merujuk pada ranah sosial di mana berbagai aktor lokal—termasuk pemerintah, warga, dan sektor swasta—berinteraksi, bersaing, dan bekerja sama dalam menggunakan internet untuk memengaruhi tata kelola serta pola-pola interaksi sosial.

Postill menggambarkan bahwa ranah “field of residential affairs” ini menjadi arena penting bagi beragam kepentingan. Pemerintah memanfaatkan internet untuk memperkuat komunikasi dengan warga dan meningkatkan layanan publik. Di sisi lain, warga menggunakan platform digital untuk memperjuangkan isu-isu lokal, membangun solidaritas, atau bahkan mengkritik kebijakan yang dirasa tidak adil. Sementara itu, sektor swasta melihat potensi internet sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan konsumen serta memasarkan produk atau layanan. Postill menunjukkan bahwa interaksi antara ketiga aktor ini sering kali bersifat dinamis—terkadang penuh kolaborasi, namun tak jarang juga diwarnai konflik dan perdebatan.

Melalui penelitian etnografisnya di Subang Jaya, Postill memberikan ilustrasi konkret tentang bagaimana transformasi digital meresap ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Ia menjelaskan bahwa internet tidak hanya menghubungkan masyarakat dengan dunia luar tetapi juga membentuk ulang cara mereka berinteraksi dalam komunitas, menyuarakan pendapat, serta menjalankan kegiatan sehari-hari. Dengan gaya penulisan yang kaya akan data empiris namun tetap mudah dipahami, buku ini mengundang pembaca untuk melihat internet dari perspektif baru—sebagai fenomena yang selalu beradaptasi dengan konteks lokal, sekaligus menjadi cermin dari dinamika sosial yang kompleks.

Melalui Localizing the Internet, Postill memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana teknologi global seperti internet tidak hanya diterima begitu saja tetapi juga dirundingkan, disesuaikan, dan diberdayakan oleh komunitas lokal. Buku ini bukan hanya relevan bagi akademisi antropologi, tetapi juga bagi pembuat kebijakan, aktivis, dan siapa pun yang tertarik pada dampak sosial teknologi digital di era modern.

Buku ini tidak hanya mengeksplorasi bagaimana teknologi memengaruhi hubungan sosial secara umum, tetapi juga bagaimana dinamika lokal dipengaruhi oleh penetrasi teknologi global. John Postill menyoroti bahwa internet bukan sekadar alat homogen yang menyatukan dunia dalam jaringan global, tetapi juga sebuah teknologi yang mampu beradaptasi dengan konteks lokal, memperkuat identitas berbasis komunitas, dan memfasilitasi interaksi sosial yang unik. Salah satu temuan penting dalam buku ini adalah bahwa internet tidak hanya berfungsi sebagai medium globalisasi, tetapi juga sebagai sarana lokalisasi, di mana nilai-nilai dan dinamika lokal semakin ditekankan melalui penggunaan teknologi.

Salah satu contoh konkret yang diungkap dalam buku ini adalah bagaimana warga Subang Jaya menggunakan internet untuk mengorganisasi aksi melawan pembangunan yang dianggap merugikan komunitas. Dengan memanfaatkan kolaborasi digital melalui media sosial dan platform daring lainnya, warga mampu menyuarakan keberatan mereka secara lebih luas, melibatkan lebih banyak partisipan, dan bahkan mendobrak hierarki tradisional dalam pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa internet bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sebuah kekuatan transformasi yang memungkinkan komunitas lokal menantang status quo dan memperjuangkan kepentingan mereka.

Dalam konteks Indonesia, sebuah negara dengan keragaman budaya, agama, dan suku yang luar biasa, adaptasi internet menjadi peluang besar untuk memperkuat nilai-nilai keberagaman dan solidaritas di tengah masyarakat. Internet dapat berfungsi sebagai alat untuk menyebarkan pesan-pesan positif, termasuk nilai-nilai perdamaian dan toleransi antaragama. Komunitas keagamaan, misalnya, dapat memanfaatkan platform digital untuk mengatasi stereotip, menggalang solidaritas lintas agama, dan membangun dialog yang lebih inklusif. Model partisipasi digital seperti yang diuraikan John Postill dalam studi kasus Subang Jaya, Malaysia, juga dapat diadopsi di Indonesia untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam isu-isu lokal, termasuk dalam mengelola hubungan antaragama dan mengatasi konflik berbasis perbedaan.

Sebagai negara yang mengalami percepatan dalam adopsi teknologi digital, Indonesia memiliki peluang besar untuk belajar dari pengalaman Subang Jaya. Internet dapat menjadi jembatan yang efektif antara pemerintah dan masyarakat, terutama dalam isu-isu yang memerlukan kolaborasi lintas komunitas. Di tengah tantangan seperti radikalisme, ketimpangan sosial, dan konflik lokal, inisiatif berbasis teknologi memiliki potensi untuk mengatasi hambatan komunikasi serta membangun kerangka kerja partisipatif. Melalui dukungan infrastruktur digital yang terus berkembang, Indonesia dapat mengembangkan ekosistem digital yang inklusif, di mana warga dan pemerintah bekerja sama dalam menciptakan solusi untuk masalah-masalah lokal.

Sebagai contoh, partisipasi digital dapat dioptimalkan untuk membangun platform dialog yang memungkinkan komunitas-komunitas lintas agama mendiskusikan isu-isu sensitif dengan cara yang konstruktif. Selain itu, teknologi dapat digunakan untuk memobilisasi dukungan terhadap kampanye-kampanye sosial, seperti memperjuangkan keadilan bagi kelompok rentan atau mempromosikan program-program yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Inisiatif-inisiatif seperti ini tidak hanya membantu mengatasi tantangan, tetapi juga mendorong masyarakat untuk terlibat lebih aktif dalam membangun masa depan bersama.

Secara keseluruhan, buku Localizing the Internet memberikan wawasan berharga tentang bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif, partisipatif, dan berdaya, baik di Malaysia maupun di Indonesia. Dengan memanfaatkan pendekatan yang disampaikan dalam buku ini, Indonesia memiliki peluang untuk mengintegrasikan teknologi digital ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat secara lebih efektif, tidak hanya untuk memperkuat tata kelola lokal, tetapi juga untuk membangun solidaritas yang lebih kokoh di tengah keragaman.

121 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350