Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
FaktualIndonesia Hari Ini

Exodus dan Ironi: Kisah Nabi Musa sebagai Cermin Perjalanan Bangsa Indonesia

131
×

Exodus dan Ironi: Kisah Nabi Musa sebagai Cermin Perjalanan Bangsa Indonesia

Share this article
Desain tanpa judul - 1
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
1
+1
1
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Merah Putih berkibar, Di tanah yang merdeka…Warisan perjuangan, Amanah untuk dijaga…Dari Sabang ke Merauke, Bersatu dalam keragaman…Pancasila fondasi kita, Menuju masa depan gemilang. Kemerdekaan bukan akhir, Tapi awal perjuangan baru. Bangunlah negeri ini, Dengan tekad dan cinta yang padu. Indonesia, tanah airku, Jiwaku kuserahkan padamu. Merdeka! Kita berseru, Demi anak cucu yang menunggu.

Tulisan ini merupakan renungan bagi kita untuk merefleksikan kembali perjuangan para pahlawan
kemerdekaan Republik Indonesia dari 7 dekade yang lalu.

Bayangkan ketika angin gurun yang membawa aroma kebebasan bercampur ketakutan. Di tengah hamparan pasir tak berujung, rombongan Bani Israil bergerak dengan harapan yang membara di mata mereka. Di depan, seorang pria dengan tongkat di tangan memimpin dengan keyakinan yang tak tergoyahkan—Nabi Musa, utusan Allah yang telah membebaskan mereka dari belenggu perbudakan Firaun.

Namun, kebebasan selalu datang dengan harga yang mahal.

Derap kaki kuda dan dentingan baju zirah memecah kesunyian padang pasir. Firaun dan pasukannya mengejar, membawa dendam dan keangkuhan penguasa yang merasa dipermalukan. Bani Israil terjebak—di depan mereka terbentang Laut Merah yang luas, sementara di belakang, kematian mendekat dengan cepat.

“Kita akan mati!” Teriakan putus asa membelah udara. Namun Musa, dengan keyakinan yang melampaui logika manusia, mengangkat tongkatnya.

Dalam sekejap mata, keajaiban terjadi. Laut Merah terbelah, membentuk dinding air yang menjulang tinggi di kiri dan kanan. Jalan kering terbentang di dasar laut, seolah alam sendiri memberi hormat pada kekuasaan Sang Pencipta. Dengan takjub dan syukur yang tak terlukiskan, Bani Israil menyeberang. Firaun dan pasukannya yang dibutakan oleh kesombongan, mencoba mengejar—hanya untuk ditelan oleh amukan laut yang kembali menyatu.

Bani Israil telah bebas. Nyanyian syukur dan tarian kegembiraan memenuhi udara, merayakan keajaiban yang baru saja mereka saksikan. Namun, kebebasan ternyata membawa tantangan yang tak terduga.

Ketika Musa pergi ke Gunung Sinai untuk menerima wahyu, sebagian dari mereka yang baru saja menyaksikan keajaiban Allah justru berpaling. Mereka membuat patung anak sapi emas, menyembahnya seolah benda mati itu yang telah membelah lautan untuk mereka. Ironi yang menyayat hati—begitu mudahnya mereka melupakan Yang Maha Kuasa demi gemerlap duniawi.

Musa kembali dengan hati yang hancur melihat kemurtadan umatnya. Ia menghancurkan patung itu, mengingatkan mereka akan janji dan kesetiaan kepada Allah. Perjalanan mereka masih panjang—empat puluh tahun mengembara di padang gurun, sebuah ujian iman dan ketabahan sebelum akhirnya mencapai Tanah Perjanjian.

Kisah Nabi Musa ini menawarkan cermin yang begitu relevan bagi perjalanan bangsa Indonesia. Layaknya Bani Israil yang dibebaskan dari perbudakan Firaun, Indonesia telah merdeka dari belenggu kolonialisme. Para pahlawan kita—Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan ribuan nama yang tak tercatat sejarah—telah memimpin exodus bangsa menuju kemerdekaan dengan pengorbanan yang tak ternilai.

Namun, ironi yang dialami umat Nabi Musa juga terjadi di Tanah Air tercinta ini. Setelah kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata, sebagian dari kita justru lupa akan nilai-nilai perjuangan itu. Layaknya anak sapi emas, kita membuat “berhala-berhala” baru yang mengancam masa depan bangsa:

  1. Korupsi yang merajalela: Para pejabat yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan pribadi. Setiap rupiah yang dikorupsi adalah pengkhianatan terhadap air mata para pejuang kemerdekaan.
  2. Politisasi SARA: Demi kekuasaan sesaat, kita rela memecah belah persatuan bangsa. Padahal, kemajemukan adalah anugerah yang menjadikan Indonesia unik dan kuat.
  3. Eksploitasi sumber daya alam: Kita menguras kekayaan bumi tanpa memperhatikan kelestarian dan hak generasi mendatang. Seolah lupa bahwa tanah ini adalah titipan anak cucu kita.
  4. Hedonisme dan konsumerisme: Nilai-nilai luhur bangsa terkikis oleh gaya hidup yang mengutamakan kesenangan sesaat. Kita lupa bahwa kebesaran sebuah bangsa diukur dari karakter, bukan dari gemerlap mall dan gadget terbaru.

Kita seolah berlomba-lomba menguasai “tanah air” yang telah diperjuangkan, bukan untuk kesejahteraan bersama, tapi untuk kepentingan kelompok atau bahkan diri sendiri. Bukankah ini pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan?

Namun, seperti Nabi Musa yang kembali untuk mengingatkan umatnya, kita pun harus kembali pada nilai-nilai Pancasila dan semangat perjuangan. Perjalanan Indonesia menuju “Tanah Perjanjian”—masyarakat adil dan makmur—masih panjang. Diperlukan tekad baja, seperti Nabi Musa yang memimpin umatnya selama 40 tahun di padang gurun, untuk terus berjuang mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Mari kita renungkan dalam-dalam:

  • Sudahkah kita berusaha menjadi “Nabi Musa” yang memimpin dan membawa perubahan positif, meski harus melawan arus?
  • Atau justru kita berusaha “Firaun” bagi sesama anak bangsa, menindas yang lemah demi kepentingan pribadi?
  • Akankah kita terus menyembah “anak sapi emas” materialisme, atau kembali pada nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi bangsa ini?

Kemerdekaan adalah amanah yang harus kita jaga dan kembangkan. Seperti Bani Israil yang harus membuktikan diri layak memasuki Tanah Perjanjian, kita pun harus membuktikan diri layak atas kemerdekaan ini. Caranya? Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai perjuangan dan Pancasila dalam setiap aspek kehidupan kita.

Marilah kita, sebagai pewaris kemerdekaan, mengambil langkah nyata:

  1. Berantas korupsi dari diri sendiri: Mulai dari hal kecil, seperti tidak menyontek atau tidak memberikan suap.
  2. Rayakan perbedaan: Jadikan keberagaman sebagai kekuatan, bukan alasan perpecahan.
  3. Jaga lingkungan: Setiap pohon yang kita tanam adalah investasi untuk masa depan anak cucu.
  4. Hidupkan kembali gotong royong: Bangun komunitas yang peduli dan saling membantu.
  5. Edukasi generasi muda: Ceritakan perjuangan para pahlawan dan nilai-nilai luhur bangsa kepada anak-anak kita.

Perjalanan kita mungkin masih panjang, tapi setiap langkah kecil yang kita ambil hari ini akan menentukan masa depan Indonesia esok hari.

Semoga kisah Nabi Musa ini menjadi pengingat dan inspirasi bagi kita semua. Mari bersama-sama terus berjuang mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat—Tanah Perjanjian kita bersama. Karena pada akhirnya, nasib bangsa ini ada di tangan kita semua.

Indonesia, tanah airku. Tanah tumpah darahku. Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku.

Merdeka! [Ibel_Lostamasta]

119 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
1
+1
1
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350