Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
Bedah ArtikelKajian Literatur

“Agama Viral”: Ketika Spiritualitas Bertemu Media Sosial (Sebuah Catatan Review)

487
×

“Agama Viral”: Ketika Spiritualitas Bertemu Media Sosial (Sebuah Catatan Review)

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
3
+1
3
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Stig Hjarvard merupakan salah seorang Profesor bidang studi media di Universitas Copenhagen, Denmark. Melalui salah satu artikelnya berjudul “The mediatization of religion: A theory of the media as agents of religious change” mengajukan sebuah teori komprehensif tentang peran media sebagai agen perubahan agama dalam komunitas masyarakat kontemporer. Di dalam artikelnya itu, Ia berargumen bahwa melalui proses mediatisasi, agama semakin tunduk pada logika, format, dan kepentingan institusi media. Pandangan ini selaras dengan konsep “mediatisasi” yang dikembangkan oleh para sarjana seperti Krotz (2007) dan Schulz (2004), yang melihat bagaimana media mengubah cara kerja berbagai institusi sosial dan interaksi antarmanusia.

Dalam lanskap media kontemporer, batas antara yang sakral dan yang sekuler menjadi kabur, karena simbol dan narasi religius sering berbaur dengan budaya konsumen dan hiburan.

Stig Hjarvard

Hjarvard menekankan tiga peran kunci media dalam proses mediatisasi agama. Pertama, sebagai saluran komunikasi, media menjadi sumber utama citra, gagasan, dan simbol keagamaan, terutama dalam bentuk “agama banal”. Konsep “agama banal” yang diajukan Hjarvard merupakan perluasan dari gagasan “nasionalisme banal” Michael Billig (1995). Jika Billig berfokus pada reproduksi nasionalisme melalui simbol-simbol sehari-hari yang tak disadari, Hjarvard berpendapat bahwa imajinasi dan sensibilitas religius juga dibentuk oleh berbagai pengalaman dan representasi media yang mungkin tidak secara eksplisit dikaitkan dengan agama formal.

Kedua, sebagai bahasa, media membentuk imajinasi dan ekspresi religius sesuai dengan konvensi genre dan format budaya populer. Argumen ini menggemakan kajian Hoover (2006) tentang “agama media” dan Clark (2003) tentang “spiritualitas terpopulerkan”. Dalam lanskap media kontemporer, batas antara yang sakral dan yang sekuler menjadi kabur, karena simbol dan narasi religius sering berbaur dengan budaya konsumen dan hiburan.

Ketiga, sebagai lingkungan budaya, media mengambil alih banyak fungsi sosial yang dulu dijalankan oleh agama-agama terlembaga, seperti memberikan panduan moral, menciptakan rasa komunitas, dan menyelenggarakan ritual. Gagasan ini paralel dengan tesis “resakralisasi” yang diajukan oleh para sarjana seperti Demerath (2003) dan Martin-Barbero (1997). Alih-alih mempercepat sekularisasi, Hjarvard berpendapat bahwa media justru berperan dalam resakralisasi budaya dengan menawarkan bentuk-bentuk spiritualitas dan transenden baru.

Untuk mendukung argumentasinya, Hjarvard menyajikan temuan dari serangkaian survei di Denmark yang menunjukkan peran signifikan media populer dalam membentuk minat dan imajinasi spiritual masyarakat. Hasil ini memperkuat tesisnya tentang agama yang termediatisasi, di mana orientasi dan praktik religius semakin dibentuk oleh logika, genre, dan kepentingan institusi media.

Artikel Stig Hjarvard memberikan sebuah kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang kompleksitas hubungan antara media, agama, dan perubahan sosial di era kontemporer. Kekuatan utama artikel ini terletak pada kerangka teori mediatisasi yang diajukan Hjarvard, yang menawarkan sebuah cara baru dan integratif untuk menganalisis bagaimana logika dan kepentingan media membentuk kembali domain agama.

Hjarvard berhasil mensintesis wawasan dari berbagai bidang kajian, seperti studi media, sosiologi agama, kajian budaya, dan psikologi kognitif, untuk membangun argumen yang multifaset dan meyakinkan. Konsep-konsep kunci yang ia ajukan, seperti “agama banal”, “bahasa media”, dan “lingkungan budaya”, terbukti berguna untuk memetakan pergeseran lanskap religius kontemporer yang semakin dibentuk oleh budaya media.

Namun, fokus empiris Hjarvard yang terbatas pada konteks Denmark dan Eropa Barat mungkin membatasi aplikabilitas teorinya ke konteks sosio-kultural lain. Dinamika mediatisasi agama di masyarakat non-Barat atau dalam tradisi agama selain Kristen mungkin mengikuti jalur yang berbeda, mengingat perbedaan dalam sistem media, lanskap religius, dan lintasan modernitas. Penelitian komparatif lintas konteks diperlukan untuk mengembangkan teori mediatisasi agama yang lebih inklusif dan kaya secara empiris.

Selain itu, hubungan antara mediatisasi, sekularisasi, dan resakralisasi yang disinggung Hjarvard memerlukan elaborasi lebih lanjut. Apakah mediatisasi mendorong sekularisasi dengan menggantikan otoritas agama-agama terlembaga, atau justru memfasilitasi bentuk-bentuk sakralitas baru yang dimediasi? Bagaimana kita menafsirkan tren-tren yang tampak kontradiktif ini? Perdebatan ini memerlukan keterlibatan yang lebih mendalam dengan literatur tentang sekularisasi dan postsekulerisme.

Terlepas dari keterbatasan tersebut, artikel Hjarvard merupakan sebuah intervensi konseptual yang provokatif dan produktif dalam kajian hubungan antara media, agama, dan modernitas. Teori mediatisasi yang ia tawarkan membuka jalan bagi program penelitian interdisipliner yang menjanjikan, yang dapat memperdalam pemahaman kita tentang transformasi agama di era media digital. Artikel ini layak menjadi bacaan penting bagi para sarjana dan mahasiswa yang tertarik dengan persimpangan antara studi media, agama, dan perubahan sosial.

428 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
3
+1
3
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350