Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
OpiniPendidikanSosio-Kultural

Fenomena Gunung Es di Balik Misteri Tragis Kasus Vina

291
×

Fenomena Gunung Es di Balik Misteri Tragis Kasus Vina

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
0
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Tragedi mengerikan yang menimpa Vina Anggraeni dan kekasihnya Rizky alias Eky pada 2016 silam kembali mencuat ke permukaan. Semenjak peluncuran film ‘Vina: Sebelum 7 Hari’, kasus ini kembali ramai diperbincangkan di media sosial. Walau delapan pelaku telah diringkus, ada tiga lainnya yang masih buron hingga kini. Namun, di balik fakta-fakta yang terungkap, tampaknya kasus ini dapat diselami menggunakan pendekatan Ice Berg, sehingga terungkap fakta tersembunyi di balik permukaan. Teori Iceberg analysis berdasarkan model Otto Scharmer dapat kita implementasikan untuk membantu membaca akar masalah yang sebenarnya.

Dalam teori Iceberg, apa yang tampak di permukaan hanyalah puncak gunung es yang kecil. Sedangkan bagian terbesar yang tersembunyi di bawah air, itulah yang sesungguhnya lebih penting untuk diperhatikan. Dalam kasus Vina, apa yang kita lihat di media sosial dari kontroversi film, perdebatan, hingga komentar-komentar, itu hanyalah puncak gunungnya saja.

Dengan menggunakan kacamata teori Iceberg, dapat terlihat bahwa bagian besar gunung es yang tersembunyi adalah masalah keamanan dan keselamatan warga di ruang publik yang menjadi bagian dari Patter of Behaviour. Mengapa kawasan tersebut bisa dijadikan sarang kriminal oleh geng motor? Bagaimana pengawasan keamanan di sana? Apa upaya pencegahan yang dilakukan? Inilah akar permasalahan yang lebih besar yang mestinya jadi fokus utama.

Marcus Felson, pakar kriminologi dari Rutgers University, memandang bahwa faktor lingkungan memiliki pengaruh besar dalam terciptanya peluang kejahatan. Dalam teorinya tentang “Crime Pattern Theory“, ia menjelaskan bahwa kurangnya pengawasan di suatu wilayah dapat memicu terbentuknya ruang-ruang rawan kejahatan.

Sementara itu, Patrick Carr dari Universitas Missouri – St. Louis menekankan pentingnya melibatkan masyarakat dalam upaya pencegahan kejahatan atau “crime prevention through environmental design (CPTED)”. Misalnya dengan meningkatkan pencahayaan, menghidupkan aktivitas di ruang publik, serta membangun komunitas yang saling mengawasi.

Dari sisi kebijakan, pakar keamanan publik John Eck dari University of Cincinnati menganjurkan strategi penanganan yang berfokus pada lokasi atau tempat kejadian perkara (“hot spots policing“). Dengan mengidentifikasi titik-titik rawan, aparat dapat mengambil tindakan pencegahan dan peningkatan keamanan yang lebih efektif.

Jadi, untuk benar-benar menyelesaikan masalah keamanan warga ini, dibutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Mulai dari kajian mendalam faktor lingkungan, pelibatan masyarakat, hingga kebijakan penanganan yang fokus pada lokasi rawan. Dengan menyingkap masalah ini hingga ke akar-akarnya, barulah keselamatan dan kenyamanan warga di ruang publik dapat terjamin secara optimal.

Selain itu, masih ada bagian Iceberg lain yang tersembunyi yakni budaya kekerasan dan solidaritas geng di kalangan anak muda sebagai bagian dari system structure. Mengapa mereka terlibat dalam aksi kriminal seperti itu? Apa yang menjadi pemicu dan motifnya? Bagaimana latar belakang pendidikan dan lingkungan mereka? Inilah yang seharusnya dikaji lebih dalam untuk mencari solusi.

Pakar kriminologi seperti Michael Gottfredson dari University of California menjelaskan bahwa solidaritas geng kerap menjadi pemicu tindakan kriminal remaja. Mereka cenderung ikut terlibat demi mempertahankan status dan solidaritas di kelompoknya. Sementara itu, Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis, mengaitkan kultur kekerasan ini dengan masalah struktur masyarakat dan lingkungan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. Mereka yang tumbuh dalam lingkungan tersebut cenderung menganut nilai-nilai kekerasan sebagai bentuk perlawanan.

Dari sisi psikologi, pakar seperti Philip Zambardo melihat fenomena ini sebagai bentuk penyimpangan perilaku sosial akibat minimnya kontrol dan pengaruh lingkungan yang buruk. Analisisnya tentang “Efek Lucifer” menyoroti bagaimana situasi dan tekanan kelompok dapat memicu seseorang berbuat jahat.

Mencermati perspektif para pakar, jelas bahwa untuk mencari solusi masalah ini harus dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya menindak para pelaku, tetapi juga mengupayakan pencegahan lewat perbaikan lingkungan sosial ekonomi, pendidikan karakter dan nilai moral sejak dini, serta memutus rantai solidaritas geng dengan memberi akses aktivitas positif bagi anak muda. Dengan demikian, kita bisa menyingkap dan melelehkan bagian gunung es dari fenomena budaya kekerasan tersebut hingga ke akar-akarnya.

Tak hanya itu, masih ada gunung es lain yang berupa masalah kekerasan seksual terhadap perempuan dan trauma yang dialami korban serta keluarganya yang menjadi bagian dari mental model. Bagaimana sistem hukum mengayomi dan melindungi korban? Sudahkah ada penanganan trauma yang memadai? Isu-isu sensitif ini juga masih kurang diekspos dan menjadi konsentrasi penyelesaian masalah.

Catharine MacKinnon, seorang tokoh feminis dan pakar hukum dari Harvard, menyatakan kekerasan seksual sering kali tidak dipandang serius dalam sistem peradilan. Banyak kasus yang disalahartikan, diremehkan, atau bahkan menyalahkan korban. Oleh karena itu, sistem hukum perlu melindungi dan memberi ruang aman bagi korban untuk berbicara.

Dari sisi psikologis, trauma pasca kekerasan seksual juga perlu mendapat perhatian khusus. Judith Herman, seorang psikolog klinis dari Harvard, menekankan perlunya pendekatan trauma-informed dalam menangani korban. Dukungan berkelanjutan dan rasa aman sangat dibutuhkan untuk proses penyembuhan korban.

Sementara itu, Rebecca Campbell, pakar psikologi dari Michigan State University, mengungkapkan bahwa keluarga dan komunitas sekitar juga berpotensi mengalami trauma ikutan. Memberikan edukasi dan bantuan pada mereka juga penting untuk mencegah rasa bersalah, malu, dan stigma sosial berkelanjutan.

Jadi, untuk membongkar fenomena gunung es di balik masalah kekerasan seksual ini dibutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Mulai dari pembenahan sistem peradilan dan penegakan hukum yang responsif gender, menyediakan layanan pendampingan trauma baik untuk korban maupun keluarga, serta membuka ruang dialog untuk menghapus stereotip dan stigma sosial. Dengan upaya komprehensif, barulah masalah ini dapat diatasi secara tuntas dari akar sampai ke permukaan.

Jadi, pada intinya teori Iceberg mengajak kita untuk tidak hanya terpaku pada perdebatan di permukaan, namun juga menyelami permasalahan yang lebih dalam dan akar penyebabnya. Dengan demikian, kita bisa menemukan solusi yang menyeluruh dan mencegah tragedi serupa terulang di masa mendatang. Tidak hanya itu, kita juga bisa membongkar narasi-narasi liar yang beredar dengan melihat fakta yang lebih utuh. Mari kita bersama-sama membongkar gunung es fenomena ini dengan jernih dan berpikir kritis agar keadilan dapat ditegakkan.

Flag Counter
280 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
0
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350