Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
KeagamaanOpini

Salam Lintas Agama: Jembatan Persaudaraan atau Jurang Perpecahan?

225
×

Salam Lintas Agama: Jembatan Persaudaraan atau Jurang Perpecahan?

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Salam Lintas Agama (SLA) belakangan ini menjadi topik hangat yang menghiasi jagat media sosial dan perbincangan masyarakat Indonesia. Isu yang sekilas tampak sederhana ini ternyata memiliki kompleksitas yang cukup mendalam dan mampu memantik perdebatan sengit di kalangan masyarakat.

SLA adalah sebuah salam yang diucapkan secara bersamaan oleh para pejabat agama dari enam agama resmi Indonesia, yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Salam ini berisi kalimat-kalimat yang berasal dari masing-masing agama, seperti “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” untuk Islam, “Salam sejahtera bagi kita semua” untuk Kristen “Salom” untuk Katolik, “Om Swastyastu” untuk Hindu, “Namo Buddhaya” untuk Buddha, dan “Salam Kebajikan” untuk Konghucu.

Isu SLA pertama kali muncul ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur mengeluarkan taushiyah yang mengharamkan penggunaan SLA. Alasan MUI adalah bahwa SLA mengandung kalimat-kalimat yang berasal dari agama lain, sehingga dapat merusak kemurnian ajaran agama Islam. Namun, Nahdlatul Ulama Jawa Timur tidak melarang masyarakatnya untuk menggunakan SLA. Isu tersebut semakin menguat setelah tanggal 30 Mei 2024, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII mengeluarkan keputusan terkait hukum salam lintas agama.

Meskipun dalam keputusan tersebut, MUI menegaskan bahwa:

keputusan ini tidak melarang umat Islam untuk bergaul dan bersosialisasi dengan non-Muslim. MUI juga menekankan pentingnya toleransi dan saling menghormati antar umat beragama.

Namun, keputusan tersebut telah berhasil memicu berbagai reaksi dan diskusi di masyarakat. Bagi sebagian orang, SLA dipandang sebagai sebuah upaya mulia untuk membangun jembatan persaudaraan antar umat beragama. Mereka berpendapat bahwa mengucapkan salam khas agama lain merupakan bentuk toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman. Bukankah Indonesia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”? Dengan saling mengucapkan salam antar agama, diharapkan benih-benih persatuan dan kerukunan dapat terus dipupuk.

Dalam pandangan Islam, salam merupakan penghormatan sekaligus doa keselamatan dan kebaikan. Islam, sebagai agama kedamaian, menganjurkan umatnya untuk menebar kedamaian (ifsyaa’u al-salaam) kepada siapa pun, baik muslim maupun non-muslim. Hubungan dengan non-muslim pun dibangun di atas prinsip kebaikan dan keadilan, selama mereka tidak memerangi dan memusuhi (QS. Al-Mumtahanah: 8). Beberapa ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradhawi juga berpendapat bahwa SLA hanya sebagai bentuk penghormatan dan tidak berarti pengakuan terhadap Tuhan lain.

Meskipun demikian, bersalam kepada non-muslim masih menjadi masalah khilafiah di kalangan ulama. Sebagian melarangnya dengan dalil hadis Nabi yang menyatakan larangan memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani (HR. Muslim). Namun, jika dilihat konteksnya (sabab al-wuruud), hadis tersebut dinyatakan dalam situasi perang. Oleh karenanya, dalam situasi damai, para ulama al-salaf al-shalih, mulai dari generasi sahabat hingga seterusnya, membolehkan bersalam kepada non-muslim.

Beberapa sahabat Nabi, seperti Abdullah Ibnu Mas’ud dan Abu Umamah al-Bahiliy, diketahui mengucapkan salam kepada non-muslim. Bahkan, Ibn al-Qayyim, ulama yang dikenal konservatif dalam hal hubungan dengan non-muslim, menyebut sejumlah nama yang membolehkan salam untuk non-muslim bila ada kemaslahatan bersama yang mendesak (mashlahah raajihah).

Namun, di sisi lain, tak sedikit pula yang menentang praktik SLA. Mereka berargumen bahwa setiap agama memiliki kekhasan dan keunikan masing-masing, termasuk dalam hal salam. Mengucapkan salam agama lain dianggap dapat mengaburkan identitas dan menimbulkan kerancuan. Bukankah setiap umat beragama seharusnya bangga dan konsisten dengan ajarannya sendiri?

Para penentang SLA juga khawatir bahwa praktik ini dapat menjadi pintu masuk bagi upaya pemurtadan terselubung. Mereka mengkhawatirkan adanya pihak-pihak yang memanfaatkan SLA sebagai kedok untuk memengaruhi atau bahkan mengonversi umat agama lain. Kekhawatiran ini tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata, mengingat isu pemurtadan memang kerap menjadi momok yang memicu konflik antar umat beragama.

Terlepas dari pro dan kontra, tidak dapat dipungkiri bahwa SLA telah menjadi fenomena sosial yang mengemuka. Masyarakat Indonesia, yang terkenal dengan keberagamannya, seolah terpolarisasi oleh isu ini. Alih-alih menjadi pemersatu, SLA justru berpotensi menjadi jurang pemisah yang semakin menguatkan sekat-sekat primordialisme.

Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi isu SLA ini? Kunci utamanya terletak pada dialog dan saling pengertian. Alih-alih terjebak dalam perdebatan kusir, ada baiknya setiap pihak mengedepankan empati dan berusaha memahami perspektif satu sama lain. Perlu dibangun komunikasi yang terbuka, jujur, dan setara antar umat beragama, tanpa pretensi maupun prasangka.

Pada akhirnya, kita harus kembali pada esensi beragama itu sendiri, yaitu menciptakan kedamaian dan kebaikan bagi sesama. Alangkah bijaknya jika energi yang tersita untuk memperdebatkan SLA dapat dialihkan untuk menebar kebajikan dan membangun harmoni dalam keberagaman. Dengan saling menghormati dan menghargai, niscaya kebhinnekaan Indonesia akan tetap kokoh, tak lekang oleh isu apapun.

Flag Counter
213 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350