Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
#Kiyai SalehFiksi

Seria Kiyai Saleh #8: Telur Maulid, Bidah dan Kebakaran

1302
×

Seria Kiyai Saleh #8: Telur Maulid, Bidah dan Kebakaran

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
51
+1
22
+1
1
+1
0
+1
1
+1
1
+1
1

Kyai Saleh menutup ceramah dengan doa.

Suasana segera menjadi riuh. Entah siapa yang memulai,  para jamaah yang tadi duduk rapi mulai bergerak. Mereka berjibaku berebutan telur maulid. Suara teriakan kegirangan dari setiap anak yang berhasil mendapatkan telur. Lelaki dewasa pun tak mau kalah. Suasana kembali normal setelah semua telur berhasil direbut. Beberapa wajah terlihat puas, beberapa terlihat kecewa karena tak berhasil mendapatkan telur. 

Sampara yang menemani Kyai Saleh tampak sibuk memindahkan bakul-bakul berisi sokko (penganan terbuat dari beras ketan) dan puluhan tangkai berisi telur beraneka warna ke mobil. Jumlah hadiah maulid untuk Kyai Saleh kali ini lumayan banya. Konon, ada seorang dermawan kaya yang menyumbang puluhan juta. Perayaan maulid di kampung itu lebih semarak ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Setelah berbasa-basi sekian jenak, Kyai Saleh pamit pulang menuju kampung Kalimana. Sampara segera menyediakan mobil.

“Banyak-banyak telur didapat ini, Kyai.” Kata Sampara begitu mobil sudah bergerak meninggalkan masjid. 

“Alhamdulillah.”

“Kenapa ada orang bilang maulid bid’ah Kyai. Na bagusnya ini. Tersambung silaturrahmi, dapatki juga telur.” Celoteh Sampara.

“Masing-masing kita ini berbeda cara dalam memahami agama. Perbedaan itu sudah tidak bisa dipungkirimi. Jadi, kita tinggal saling menghargai saja.”

“Apa kira-kira alasan mereka bilang bid’ah Kyai?”

“Ya. Paling mendasar tidak ada dalilnya. Para sahabat tidak melakukan, tabiin tidak melakukan. Itulah alasan paling utama mereka tidak melakukannya.”

“Jadi salah memang berarti itu Kyai.”

Kyai Saleh tersenyum kecil. “Jangan terlalu cepat ambil kesimpulan.”

“Apaji pale Kyai?”

“Konteks kehidupan kita sekarang adalah keragaman pendapat.”

Sampara mulai memasang telinga baik-baik. Dia sedang sendirian. Tidak ada santri lain yang bisa membantunya mencerna. Kyai Saleh biasanya bicara seenaknya saja. Tanpa peduli Sampara mengerti atau tidak.

“Beda jauh dengan zaman nabi. Dulu setiap perkara yang memicu perdebatan di kalangan sahabat, mereka tinggal mengembalikan kepada Nabi Muhammad. Perkara selesai. Sekarang. Jika ada yang berbeda pendapat, kembali ke masing-masing ulama.”

“Bukannya kita pernah bilang, kalau umat berbeda pendapat kembalikan ke Alquran dan hadis?”

“Siapa yang bisa kembali ke Alquran dan hadis?”

“Maksudta Kyai?”

“Sampara. Cara kembali ke Alquran dan hadis bukanlah membaca ayat langsung ke Alquran. Kalau itu semua orang bisa. Asalkan bisa baca Alquran.”

“Jadi?”

“Kembali ke Alquran dan hadis berarti menelusuri konteks, maksud, dan tujuan ayat tersebut. Siapa yang bisa melakukan itu?”

“Para ulama Kyai”

“Nah itu masalahnya. Setiap kelompok keagamaan punya ulama. Perdebatan terjadi karena pandangan ulama yang kita ikuti berbeda-beda. Misalnya, tentang maulid bid’ah. Orang-orang yang bilang seperti ini punya rujukan ulama. Yang bilang maulid ini perbuatan baik, juga punya ulama yang berbeda. Jadi perbedaan tidak mungkinmi disatukan karena masing-masing orang atau kelompok mengambil jalur yang berbeda-beda.”

Sampara terdiam dan manggut-manggut. 

“Jadi, umat Islam tidak bisa bersatu?”

“Bisa sekali. Tetapi apakah yang kamu maksud dengan bersatu? Sampara.”

“Ya, bersatu!”

“Kalau yang kamu maksud, bersatu itu seragam, tidak berbeda, tidak berdebat mungkin kamu tidak bisa menemukan persatuan.”

“Lalu?”

“Ya, kayak Indonesia ini. Penduduk Indonesia itu beragam, beda agama, beda suku tetapi bisa bersatu sebagai satu bangsa. Umat Islam ini punya Tuhan yang sama, nabi yang sama, kitab suci yang sama. Jadi pada dasarnya kita ini satu. Kita hanya berbeda di level cara. Karena itu kita harus memperkuat sikap untuk saling menghargai.”

“Susahkah itu saling menghargai Kyai?”

“Bisa sulit, bisa tong mudah.”

“Maksudnya Kyai?”

 “Orang yang sulit menghargai adalah orang yang tidak mau saling mempelajari. Padahal, penghargaan itu muncul dari pengetahuan terhadap orang lain. Misalnya ada orang bilang maulid itu bid’ah. Ya tidak apa-apa. Kita yang melakukan maulid tidak perlu marah-marah. Kita harus pahami kenapa mereka begitu.”

“Kira-kira kenapa mereka begitu?”

“Mereka itu memiliki pemahaman keagamaan yang otentik. Mereka ingin beragama yang asli dari Nabi dan para sahabatnya. Apabila mereka tidak menemukannya di zaman Nabi atau sahabat, mereka tidak akan melakukannya. Saya akhirnya memahami ketika mereka bicara bid’ah itu untuk mereka. Untuk melindungi kelompoknya.”

“Terus alasan kita melaksanakan maulid, na tidak ada pale praktiknya di zaman Nabi.”

“Maulid ini cara, metode. Isinya adalah mencintai Nabi Muhammad. Jadi maulid ini menjadi pengingat kepada kita, bahwa ada seorang manusia agung yang diturunkan ke bumi untuk menyempurnakan akhlak kita sebagai manusia. Namanya Muhammad.”

“Tapi kalau ada yang mau mengingat tanpa melalui proses maulid, Kyai.”

“Bagus sekali. Ingat ya maulid itu cara, metode. Bisa dilakukan, bisa tidak. Bisa diubah, bisa dimodifikasi. Bisa dilakukan sendiri, bisa dilakukan bersama. Nah, ketika cara ini menjadi kebiasaan, dia berubah menjadi tradisi.”

Sampara tiba-tiba mengerem mobil. Kyai Saleh tersentak kaget.

“Kenapa Sampara?”

“Ada kebakaran di depan Kyai.”

Kyai Saleh segera meminta Sampara menepi. Kebakaran rupanya telah berlangsung cukup lama. Rumah yang kebakaran telah hampir habis. Untung saja pemadam kebakaran telah datang dengan tepat waktu. Dampak kebakaran bisa diminimalisir.

Kyai Saleh memerintahkan Sampara untuk membagi-bagikan bakul maulid dan telur yang ada di atas mobil.

Warga masyarakat bersukacita menerima bakul maulid tersebut. Mereka segera memakannya bersama-sama.

Setelah berbincang sejenak dengan warga, Kyai Saleh melanjutkan perjalanan kembali ke kampung Kalimana.  

“Hakikat maulid adalah meniru akhlak Rasulullah. Kita tidak bisa menjadi sempurna. Tetapi kita tidak boleh kehilangan semangat untuk berbuat baik. Sampara. Telur maulid hanya lah simbol. Yang menentukan adalah akhlakmu.” Kata Kyai Saleh.

Semburat jingga di langit tersirat pelan. Pendar merah pelan-pelan meraja memenuhi langit. Sebentar lagi magrib tiba.

1,195 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
51
+1
22
+1
1
+1
0
+1
1
+1
1
+1
1

About The Author

Example 1100x350