Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
#Kiyai SalehFiksi

Serial Kiyai Saleh #6: “Dilema Sang Kepala Desa”

580
×

Serial Kiyai Saleh #6: “Dilema Sang Kepala Desa”

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
20
+1
1
+1
1
+1
0
+1
1
+1
0
+1
0

Musim pemilihan tiba. Suksesi kepemimpinan di Desa Kalihulu mulai terdengar. Kalihulu adalah kampung tetangga Kelurahan Kalimana. Sudarmin, Kepala Desa sebelumnya telah menjabat dua periode. Dia tidak bisa lagi mencalonkan diri setelah berlakunya UU nomor 3 tahun 2024, yang menyatakan batas periode 2 tahun dengan masa jabatan 8 tahun. 

Hari ini Sudarmin mengundang beberapa kolega untuk acara terakhir sebelum masa jabatannya berakhir. Yusran ikut menghadiri undangan. Sudarmin adalah paman Yusran.

”Sudah tuama juga. Saatnya istrahat. Saya berharap suksesi kepemimpinan ini tidak mengganggu masa tua ku.” Kata Sudarmin kepada para tamu yang datang.

”Calonkan mi Syamsul pak.” usul salah seorang tamu. Syamsul yang dimaksud adalah putera sulung kepala desa. Usianya masih belia dan belum punya pengalaman yang cukup. Suara pendukung Sudarmin yang hendak mencalonkan Syamsul memang telah terdengar sejak lama tetapi Sudarmin mengabaikannya.

”Jangan lah. Dia masih muda. Pengalamannya belum banyak. Tekanan menjadi kepala desa tidak mudah. Apalagi di era sekarang.” Sanggah Sudarmin.

”Kesempatan, pak. Pak Kades ini dicintai warga desa. Calon yang bapak ajukan itu pasti dapat dukungan dari masyarakat. Pikirkan masa depan Syamsul pak. Bapak belum tentu punya kesempatan sebesar sekarang ini.” Usulan dari tamu lain menggema.

Sudarmin terdiam sejenak. Kalimat tamu yang terakhir ini sedikit menggoyahkan prinspnya.

”Nanti-lah diliat. Batas pendaftaran juga masih lama. Untuk sementara, begitu saja dulu.” Sudarmin buru-buru mengakhiri perbincangan.

”Bagaimana tanggapanmu Yusran?” Tanya Sudarmin ketika para tamu sudah pulang.

”Masuk akal juga itu uwa. Tidak ada salahnya.” Kata Yusran.

Sudarmin menatap Yusran sejenak lalu mengalihkan pandangan ke depan.

”Tetapi kalau butuhki semacam nasihat. Bagus kalau kita diskusi dengan Kyai Saleh. Biasanya beliau punya pandangan-pandangan yang menentramkan.”

Sudarmin mengangguk.

”Iya. Sudah lama juga, saya tidak berkunjung ke kampung Kalimana. Adaji Kyai Saleh besok. Saya mau bertamu.”

”Ada terusji. Biasanya beliau itu enak diajak ngobrol setelah salat asar.”

****

Keesokan harinya, Sudarmin dan Yusran berkunjung ke rumah Kyai Saleh. Tak seperti biasanya, Kyai Saleh sedang tidak di rumah, rupanya.

”Keluarki sebentar beli kopi.” Kata Sampara menyambut kedatangan Yusran dan Sudarmin.

Kyai Saleh memang penggemar berat kopi dan setia pada rasa. Di kota ini, ada satu toko penjual bubuk kopi langganan Kyai Saleh. Hanya di tempat itu, Kyai Saleh mempercayakan selera kopinya. Rasanya pas di lidah dan aromanya sangat menggoda selera sang Kyai.

” Tunggu maki sebentar. Tidak lamami kembali. Paling 10 menit lagi.” ujar Sampara.

Yusran memandang Sudarmin. Sang kepala desa menganggukkan kepala, tanda setuju untuk menanti Kyai Saleh.

”Bagus tong kapang kalau sambil menunggu Kyai Saleh, ada kopi kah atau pisang goreng kah.” canda Yusran kepada Sampara.

”Gaya-nu. Tunggu mi. Lagi goreng pisang istriku di dalam. Sabarki bapak” Kata Sampara sambil melangkah menuju dapur.

Yusran dan Sudarmin tersenyum kecil. Keduanya lalu mengambil tempat duduk yang tersedia di teras rumah Sang Kyai.

Tak lama berselang, bahkan kopi dan pisang goreng yang dijanjikan Sampara belum terhidang, Kyai Saleh sudah pulang.

”Wah.. ada tamu rupanya.” Sapa Kyai Saleh.

Yusran segera berdiri menyambut Kyai Saleh dan menciumi tangan sang Kyai. Kepala desa Sudarmin pun melakukan hal serupa.

”Sudah lama?”

”Tidakji Kyai. Sekitar 5 menit. Pisang goreng saja belum muncul.” canda Yusran. Kyai Saleh tersenyum mendengarnya.

Setelah berbasa-basi beberapa saat, Yusran mengajukan pertanyaan tentang situasi di Desa Kalihulu. Sudarmin ikut menganggukkan kepala mendengarkan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Yusran.

”Demokrasi yang negara kita pilih memandang semua warga negara sama kan? Jadi mau dia anak kepala desa, anak rakyat biasa punya hak mencalonkan diri. Apa yang menghalangimu, Pak Desa?” kata Kyai Saleh merespons cerita Yusran.

Sudarmin tertegun sejenak.

”Sebagian hati saya bilang jangan. Anak saya itu terlalu muda. Dia belum memiliki pengalaman apa-apa di bidang pemerintahan. Saya khawatir malah dia gagal dan masa depan politiknya hancur.” Jawab Sudarmin pelan.

”Tapi peluang ini, uwa. Belum tentu 8 tahun ke depan, pengaruhta sebesar sekarang. Apalagi saya liat warga desa sangat menginginkan kalau kepempinan selanjutnya dari keluarga-ta. ” Yusran menimpali.

”Benar juga. Itumi yang membuat sebagian hati saya mau setujui pencalonannya. Makanya saya datang diskusi dengan Kyai. Bagaimana sebaiknya menurut Kyai?”

Kyai Saleh tidak segera menjawab. Istri Sampara telah datang dengan hidangan yang menggiurkan.

”Silahkan makan.” Kyai Saleh mempersilahkan tamunya. Tanpa ragu Yusran segera mengambil pisang goreng dan memakannya. Wajahnya memerah menahan panas.

”Pelan-pelanki bapak. Baru turun dari minyak itu…” tegur Sampara sembari tersenyum. Semua yang ada di teras rumah itu ikut tersenyum melihat Yusran yang kepanasan.

”Pak Desa. Saya bukan ahli politik. Tetapi, ada tiga hal yang bisa menjadi pertimbanganmu dalam mengambil keputusan. Semuanya nanti terpulang pada dirimu.” Kata Kyai Saleh membuka pembicaraan setelah jeda beberapa jenak.

”Apa itu Kyai?”

”Pertama. Syarat administratif dan kompetensi. Kalau anakmu sudah sesuai dengan syarat administratif pencalonan kepala desa, kamu boleh mengajukannya sebagai calon. Syarat ini seperti syarat sah dalam fiqih. Misalnya akil baligh. Orang Islam yang diwajibkan salat dan puasa serta kewajiban lainnya adalah harus akil baligh. Syarat minimal. Syarat administratif ini tidak boleh melupakan kompetensi. Kemampuan yang melekat pada diri seseorang. Kalau dia memiliki bakat kepemimpinan yang bagus. Kamu boleh mencalonkan. Sebagai orang tua, kamu pasti lebih paham kompetensi anakmu.”

”Kompetenji itu anak Kyai. Dia pernah jadi ketua osis di SMP dan SMA. Waktu kuliah juga menjadi ketua organisasi mahasiswa.” Yusran menyela.

Kyai Saleh manggut-manggut.

”Yang kedua. Kebiasaan para politisi.”

”Apa itu Kyai?”

”Kebiasaan para politisi adalah memanfaatkan peluang. Biasanya para politisi tidak memikirkan faktor lain selain memuluskan kepentinganmu. Ini khas para politisi. Maka tidak mengherankan kalau setiap lima tahun peta politik berubah-ubah karena kepentingan juga berubah. Dulu musuh kini teman besok bisa jadi lawan. Hari ini bersama besoknya berseteru besoknya lagi berkumpul. Hari ini bertengkar keras besok berpelukan seolah-olah tidak pertengkaran di hari kemarin. Jadi, dengan pendekatan politik kamu sangat boleh mencalonkan anakmu. Ingat! Dalam politik kesempatan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya karena kadang-kadang kesempatan tidak datang dua kali.”

Sudarmin mengangguk. Wajahnya sedikit berbinar. Ada cercah harapan dari kalimat Kyai Saleh ini.

”Yang ketiga Kyai?” Yusran antusias bertanya. Dia ikut bergembira melihat wajah pamannya cerah. Dia menduga sang paman akan mencalonkan anaknya untuk menjadi kepala desa.

Kyai Saleh tidak cepat menjawab. Dia lebih memilih menyeruput kopi dan mengunyah pisang goreng yang sudah mulai kehilangan suhu panas.

”Pendekatan para negarawan.”

”Seperti apa itu Kyai?”

”Negarawan melihat konteks yang lebih luas dan berpegang pada nilai. Bukan kepentingan pribadi. Negarawan akan bertindak untuk menyelamatkan perahu bangsa. Menyelamatkan konstitusi. Negarawan bertindak untuk menyambung nilai luhur bangsa dari generasi ke generasi. Negarawan tidak pernah melihat dirinya penting melebihi kepentingan negara. Tidak banyak orang yang naik kelas menjadi negarawan. Biasanya mereka lebih menikmati kelas sebagai politisi. Itu semua pilihan. Semuanya tidak ada yang salah.”

Lalu hening. Kalimat Kyai Saleh yang terakhir ini membuat Sudarmin dan Yusran terhenyak. Perbincangan kemudian beralih ke topik lain. Setelah puas berbicara, Sudarmin dan Yusran pamit pulang.

 *****

Dua minggu berselang. Terdengar hiruk piruk dari Desa Kalihulu. Kepala desa baru telah terpilih. Bukan Syamsul, anak Pak Sudarmin. Sudarmin tidak mencalonkan anaknya dengan berbagai pertimbangan.

Kyai Saleh tersenyum. Hujan yang turun dengan rinai yang pelan menyajikan kesejukan.

Di desa kecil bernama Kalihulu, seorang politisi sedang naik kelas menjadi negarawan. Namanya Sudarmin.

Demikianlah serial Kiyai Saleh kali ini, nantikan kisah selanjutnya, hanya di kalosara dot aydi. Terima kasih, dan salam harmoni.

491 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
20
+1
1
+1
1
+1
0
+1
1
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350