Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
#Kiyai SalehFiksi

Serial Kiyai Saleh #5: Sampara Yang Salat Tak Pakai Baju

673
×

Serial Kiyai Saleh #5: Sampara Yang Salat Tak Pakai Baju

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
26
+1
6
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Sampara terburu-buru bangun. Jam telah menunjukkan pukul 07.00. Waktu yang sudah siang untuk menjalankan salat subuh. Dia segera mengambil air wudhu. Dengan hanya menggunakan sarung yang menutup pusarnya hingga bawah lutut dan tanpa menggunakan baju, Sampara melaksanakan salat subuh.

”Ih, kenapa ki tidak salat pakai baju. Sah ji itu salat ta?” tegur istri Sampara.

“Sah ji kapang. Buru-buru-ka tadi. Ndak sempat ma pakai baju.”

“kita juga. Jam berapa ki tidur tadi malam.”

“Nonton-ka bola sampai jam dua kayaknya.”

“Pantas, bangun kesianganki”

Setelah berdialog singkat. Istri Sampara segera menuju dapur. Tampak di ruang tengah Kyai Saleh sedang duduk menonton televisi. Tak lama berselang, Istri Sampara datang dengan membawa secangkir kopi.

*****

Kyai Saleh tampak tersenyum ketika istri Sampara mengadukan perilaku Sampara tadi pagi.

“Tidak apa-apaji. Yang dilakukan oleh Sampara tidak melanggar hukum. Dalam tradisi fiqih Syafii, batasan aurat untuk laki-laki adalah di atas pusar dan di bawah lutut.”

Istri Sampara tersenyum malu.

“Berarti ndak wajibji pakai baju Kyai kalau mau salat?” Sampara.

“Tidak begitu agama ini dikelola, Sampara.”

“Maksudnya Kyai?”

“Basis utama agama kita adalah akhlak. Akhlak itu standarnya etika. Etika itu standarnya kesepakatan sosial.”

Sampara mengerutkan dahi. Kalimat Kyai Saleh tidak pas dengan nalarnya.

“ndak mengerti ka.”

“Ih lamata mi ikut pengajian Kyai Saleh belumpi mengerti-ngerti.” Istri Sampara menyela.

“Bahasanya Kyai Saleh tinggi sekali bela. Ndak cocok dengan saya.”

Kyai Saleh tersenyum melihat suami-istri. Keluguan dua orang ini cukup menjadi hiburan bagi Kyai Saleh setelah sang isteri meninggal dunia.

“Begini Sampara. Kalau ada orang tidak pakai baju seperti kamu tadi pagi pergi salat berjamaah ke masjid, bagaimana pandanganmu?”

“Lain-lain Kyai. Ndak cocok. Ndak sopan. Masa ndak pakai baju pergi salat.”

“Nah, tadi kamu tidak pakai baju waktu salat?”

“Kan di kamarku ji. Ndak ada ji liat selain istri.”

“Nah itu disebut akhlak. Pada dasarnya, kalau ada orang yang pergi ke masjid tidak pakai baju tetapi menutupi aurat berdasarkan ajaran Imam Syafii, salatnya tetap sah. Tetapi perilakunya ini melanggar kesepakatan etika. Benar tetapi tidak tepat. Benar itu ukurannya hukum formal sedangkan tepat itu norma sosial.”

Meski tidak semua kalimat Kyai Saleh bisa dicerna, namun Sampara manggut-manggut. Arah dan tujuan kalimat Kyai Saleh sudah bisa dia pahami.

“Oleh karenanya, para ulama menyusun rumus yang disebut qaidah ushul. Ma laa yatimmu wajibun illa bihi fahuwa waajibun.”

“Apa sede itu Kyai?” Istri Sampara bertanya sembari merapikan bagian tengah rumah.

“Artinya hal-hal yang gara-gara dia tidak sempurna kewajiban dia ikut wajib. Jadi awalnya tidak wajib, tetapi dia menyempurnakan kewajiban maka hukumnya ikut wajib.”

“Contohnya Kyai?”

“Itu… pakai baju lengkap untuk salat menjadi wajib. Padahal, hukum asalnya tidak wajib. Tetapi kalau kamu tidak pakai baju lengkap ke masjid pasti tidak sempurna kewajiban menjalankan salat. Maka dia menjadi wajib.”

Kyai Saleh terdiam sejenak. Kopi yang telah disediakan sejak tadi oleh istri Sampara masih menyisakan kepulan asap. Kyai Saleh menyeruput dengan nikmat.

“Agama itu Sampara diturunkan untuk merawat kepantasan sosial. Tidak semua standar beragama itu ditentukan oleh hukum asalnya. Agama itu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, maka ada tekanan-tekanan yang berbeda di setiap masyarakat tempat agama itu berkembang.”

“Untuk apa ji pale hukum dasar yang kita sebutkan Kyai?”

“Itu dasar. Sekaligus batas minimal. Kalau Sampara Salat tanpa berpakaian sama sekali sudah tidak sah salatnya. Karena tidak memenuhi standar minimal, yaitu menutup aurat seperti yang saya bilang tadi. Sampara pun melakukan hal itu dalam keadaan darurat. Artinya sudah tertanam dalam diri mu bahwa salat dengan berpakaian itu wajib. Hanya saja dalam keadaan darurat ada batas-batas minimalnya.”

“Tadi kita bilang kepantasan sosial? Apa ukurannya Kyai?”

“Beda-beda. Ada yang disepakati secara luas ada yang terbatas. Intinya kepantasan sosial itu muncul dan tumbuh dalam budaya masyarakat. Yang kita sebut akhlak itu adalah kepantasan yang disepakati oleh masyarakat.”

“Berati tidak ada kepantasan yang berlaku di semua tempat”

“Ada. Terutama pada nilai dasarnya. Kalau ekspresinya bisa saja berbeda-beda. Bahkan di level individu sekalipun.”

Kyai Saleh kembali terdiam sejenak. Kopi tersisa seperempat gelas.

“Mauki tambah kopi, Kyai?”

“Ndak. Cukupmi. Untuk pria seumuran saya, tidak boleh terlalu banyak minum kopi. Nah, ini termasuk kepantasan sosial tetapi ukuranya pribadi.”

Sampara mengangguk-angguk.

“Kuingat Kyai. Pernah dulu. Sudah lamami. Tesa jadi imam salat magrib. Kayaknya Kyai lagi keluar kota. Masa dia baca satu ayat… yaasin. Lalu sujud. Ketawa semuaki satu masjid. Diulangki salat. Ada jamaah lain yang gantikan Tesa jadi imam.”

Kyai Saleh tersenyum. Cerita Sampara ini mengingatkan dirinya kepada Kyai Jafar saat masih nyantri. Kyai Jafar sangat sering membaca satu alif lam mim lalu sujud. Alasannya tentu saja kuat. Alif lam mim, yaa sin adalah satu ayat. Itu sah dibaca dan tidak melanggar apa-apa.

“Nah itu contoh kepantasan sosial Sampara. Mengapa kalian tertawa ketika Tesa hanya membaca satu ayat lalu takbir untuk ruku’”

“Karena lain-lain dirasa Kyai. Ndak pernah ada orang begitu.”

“Nah… para ulama membuat rumusan, al-adatu muhakkamah. Adat kebiasaan mengandung hukum. Kalian merasa lucu dan tertawa karena kebiasaan kita salat tidak ada orang yang membaca ya sin saja lalu ruku. Padahal, itu tidak melanggar apa-apa. Karena ya-sin itu nilainya satu ayat. Hanya karena kita tidak terbiasa dengan itu, maka respons kita menjadi berbeda. Jadi yang menjadi ukuran disitu adalah kebiasaan. Kebiasaan itu memandu akhlak. Siapa yang melanggar kebiasaan pasti menimbulkan konsekswensi. Karena tertawa maka salat menjadi batal.”

Siang telah meraja. Jam di dinding telah menunjukkan pukul 11.40.

“Sampara maumi masuk waktu duhur. Duluanmi ke masjid.”

“Ndak mauki makan dulu Kyai?” tiba-tiba Istri Sampara muncul dari arah dapur.

“Nanti setelah selesai salat duhur.” Lalu, sang Kyai beranjak ke kamar untuk berganti baju. Sampara bersama istrinya bergegas ke masjid untuk melantunkan azan.

586 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
26
+1
6
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350