Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
EdukasiMoral

“Dari Kandang ke Kampus: Bagaimana Bebek Mengajarkan Seni Merantau”

321
×

“Dari Kandang ke Kampus: Bagaimana Bebek Mengajarkan Seni Merantau”

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
1
+1
5
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung

Di sepanjang jalan menuju Dusun Jatie, Desa Biru, Kecamatan Poleang Timur, Bombana, terhampar luas sawah-sawah yang seakan tak berujung. Desa Biru memang terkenal sebagai penghasil padi terbesar di wilayah tersebut. Hal ini karena sistem irigasi di sana sangat baik, sehingga para petani bisa panen hingga 3-4 kali setahun, jauh lebih sering dibandingkan tempat lain.

Saat saya melewati jalan yang cukup menantang itu, mobil berhenti setelah sekitar 15 menit perjalanan. Saya ke sana untuk mengambil satu rak telur bebek yang sudah saya pesan dengan Pak Hasbullah, kepala pondok pesantren setempat.

“Pak, ada telur bebeknya?” tanyaku.

“Maaf, belum ada, Pak. Saya sudah cari di desa ini dan bahkan ke desa tetangga, Pokorumba, tapi belum dapat juga,” jawabnya.

“Lho, kenapa bisa begitu?” tanyaku lagi.

“Belum musimnya, Pak. Sekarang ini bebeknya lagi merantau.”

Pak Hasbullah kemudian menjelaskan bagaimana bebek-bebek itu dibawa oleh pemiliknya ke desa-desa yang baru saja panen. Mereka mencari bulir-bulir padi yang jatuh saat panen sebagai makanan utama. Setelah makan dengan baik, bebek-bebek itu akan memproduksi telur dalam jumlah besar.

“Wah, menarik sekali ya, Pak. Jadi bebek-bebek ini seperti perantau yang mencari rezeki di tempat lain,” komentarku.

Pak Hasbullah tersenyum. “Betul sekali, Pak. Tapi yang menarik, bebek-bebek ini selalu kembali ke kandang asalnya setelah musim panen selesai. Mereka tidak melupakan tempat asal mereka.”

Komentar Pak Hasbullah ini membuat saya teringat pada kisah-kisah inspiratif tentang merantau dan kembali ke tanah kelahiran.

“Itu mengingatkan saya pada kisah Nabi Muhammad SAW, Pak,” ujarku. “Beliau hijrah ke Madinah, tapi pada akhirnya kembali ke Makkah untuk membebaskan kota kelahirannya itu.”

Pak Hasbullah mengangguk antusias. “Ah, iya, Pak. Itu contoh yang sangat baik. Nabi Muhammad merantau ke Madinah bukan untuk melarikan diri, tapi untuk membangun kekuatan. Dan ketika waktunya tepat, beliau kembali ke Makkah untuk menyebarkan Islam dengan damai. Ini mengajarkan kita bahwa merantau bukan berarti melupakan asal-usul kita.”

Saya menambahkan, “Saya juga teringat pada kisah para pemain sepak bola naturalisasi kita, Pak. Mereka merantau ke luar negeri, mengasah kemampuan di sana, tapi pada akhirnya kembali untuk membela timnas Indonesia.”

“Oh iya, Pak. Seperti Egy Maulana Vikri ya? Dia bermain di klub Lechia GdaÅ„sk di Polandia, tapi tetap kembali untuk membela timnas,” sahut Pak Hasbullah.

“Betul, Pak. Atau Marc Klok, yang lahir di Belanda tapi memilih untuk dinaturalisasi dan membela Indonesia. Mereka ini contoh bagaimana pengalaman di luar negeri bisa membawa manfaat besar ketika kembali ke tanah air.”

Pembicaraan kami terhenti sejenak ketika terdengar suara kendaraan mendekat. Ternyata itu adalah truk yang membawa pulang bebek-bebek yang telah selesai “merantau”.

“Nah, Pak. Bebek-bebek kita sudah pulang,” kata Pak Hasbullah sambil tersenyum. “Mereka sudah menghasilkan banyak telur di tempat lain, dan sekarang kembali untuk bertelur di sini. Sama seperti para perantau sukses yang kembali untuk membangun daerahnya.”

Melihat bebek-bebek itu turun dari truk, saya jadi teringat pada mahasiswa baru yang akan memulai perjalanan mereka di dunia perkuliahan.

“Pak Hasbullah, menurut Bapak, apa pesan yang bisa kita sampaikan kepada mahasiswa baru dari kisah bebek merantau ini?” tanyaku.

Pak Hasbullah berpikir sejenak sebelum menjawab, “Saya rasa pesannya adalah: jangan takut untuk merantau dan mencari pengalaman baru. Tapi ingatlah selalu dari mana kamu berasal. Ilmu dan pengalaman yang kamu dapatkan di perantauan nantinya akan sangat berharga ketika kamu kembali untuk membangun daerahmu.”

Saya mengangguk setuju. “Benar sekali, Pak. Merantau itu penting untuk pengembangan diri, tapi kembali ke tanah kelahiran untuk mengabdi juga tak kalah pentingnya.”

Kami mengakhiri percakapan kami dengan sebuah kesimpulan: bahwa kisah bebek merantau ini bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja, terutama para mahasiswa baru. Merantau memberikan kesempatan untuk belajar dan berkembang, tapi jangan lupa bahwa ada saatnya kita harus kembali dan memberikan kontribusi kepada tanah kelahiran kita.

Saat saya bersiap untuk pulang, Pak Hasbullah memberikan satu rak telur bebek yang baru saja “pulang merantau” itu. “Ini telur hasil merantau bebek kita, Pak. Semoga bisa mengingatkan kita selalu tentang pentingnya merantau dan kembali pulang.”

Ketika saya hendak berpamitan, tiba-tiba seorang pemuda mendekati kami. Ia memperkenalkan diri sebagai Andi, mahasiswa yang baru saja kembali dari pertukaran pelajar di Jepang.

“Wah, kebetulan sekali ada Andi di sini,” kata Pak Hasbullah. “Andi ini baru pulang dari Jepang, Pak. Dia bisa berbagi pengalaman menarik tentang merantau.”

Saya pun tertarik dan memutuskan untuk tinggal sebentar lagi. “Bagaimana pengalamanmu di Jepang, Andi?” tanya saya.

Andi tersenyum lebar. “Pengalaman yang luar biasa, Pak. Saya belajar banyak, tidak hanya tentang ilmu di kampus, tapi juga tentang budaya dan cara hidup orang Jepang.”

“Oh ya? Apa yang paling berkesan bagimu?” tanya Pak Hasbullah.

“Yang paling berkesan adalah bagaimana orang Jepang sangat menghormati aturan dan tradisi mereka,” jawab Andi. “Saya ingat pepatah ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Saya benar-benar menerapkan ini selama di sana.”

Saya mengangguk. “Itu pepatah yang bagus. Bisa kau jelaskan lebih lanjut bagaimana kau menerapkannya?”

Andi melanjutkan, “Tentu, Pak. Misalnya, di Jepang ada budaya membungkuk saat memberi salam. Awalnya saya merasa canggung, tapi saya sadar bahwa dengan menghormati budaya mereka, saya juga dihormati. Saya juga belajar untuk selalu tepat waktu, karena di sana keterlambatan dianggap sangat tidak sopan.”

“Itu pengalaman yang berharga, Andi,” komentar Pak Hasbullah. “Sama seperti bebek-bebek kita yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru saat merantau ke sawah lain.”

Saya menambahkan, “Benar sekali. Menghormati budaya setempat itu seperti bebek yang belajar mencari makan di sawah yang berbeda. Mereka harus menyesuaikan diri, tapi tidak melupakan identitas mereka sebagai bebek.”

Andi mengangguk setuju. “Betul, Pak. Saya tetap mempertahankan identitas saya sebagai orang Indonesia, tapi saya juga belajar dan menghormati budaya Jepang. Ini membuat pengalaman saya jauh lebih kaya dan bermakna.”

“Lalu, bagaimana perasaanmu setelah kembali ke sini, Andi?” tanya saya.

“Saya merasa membawa pulang banyak pelajaran berharga, Pak,” jawab Andi. “Saya ingin menerapkan hal-hal baik yang saya pelajari di sana, seperti kedisiplinan dan efisiensi, tapi tetap dalam konteks budaya kita. Dan yang paling penting, saya ingin berbagi pengetahuan ini untuk membantu membangun daerah kita.”

Pak Hasbullah tersenyum lebar. “Nah, ini dia yang kita bicarakan tadi, Pak. Merantau, menghormati budaya setempat, lalu kembali untuk berkontribusi. Andi ini contoh nyatanya.”

Saya merasakan inspirasi yang luar biasa dari cerita Andi. “Terima kasih sudah berbagi, Andi. Ceritamu ini pasti akan menginspirasi banyak mahasiswa baru yang akan memulai ‘perantauan’ mereka di dunia kampus.”

Sebelum akhirnya berpamitan, saya menyimpulkan, “Jadi, dari kisah bebek merantau dan pengalaman Andi, kita bisa belajar tiga hal penting: keberanian untuk merantau dan berkembang, kebijaksanaan untuk menghormati budaya di tempat baru, dan kesadaran untuk kembali dan berkontribusi pada tanah kelahiran.” Pak Hasbullah dan Andi mengangguk setuju. Dengan hati yang penuh inspirasi, setumpuk telur bebek di tangan, dan pelajaran hidup yang tak ternilai, saya pun meninggalkan Desa Biru. Saya membawa pulang tidak hanya telur-telur segar, tapi juga kebijaksanaan tentang merantau, menghormati, dan kembali pulang yang akan saya bagikan kepada para mahasiswa baru.

Terima kasih atas kunjungan anda, nantikan artikel menarik lainnya, hanya di kalosara.id. Salam harmoni.

288 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
1
+1
5
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350