“AI dalam penulisan ilmiah adalah seperti pisau bermata dua: dapat menjadi alat yang ampuh untuk memajukan pengetahuan, atau menjadi jalan pintas yang mengikis integritas akademik. Kuncinya bukan pada teknologinya, tetapi pada etika dan kebijaksanaan penggunanya.”
Admin
Di era digital yang semakin maju, Artificial Intelligence (AI) telah merambah berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia akademik. Salah satu fenomena yang menarik perhatian adalah maraknya penggunaan AI sebagai asisten dalam penulisan karya ilmiah. Bersamaan dengan itu, media sosial dibanjiri iklan yang menawarkan pelatihan menulis karya ilmiah – buku, skripsi, hingga artikel jurnal – dalam waktu singkat dengan bantuan AI. Fenomena ini memunculkan pertanyaan krusial: Apakah AI merupakan ancaman bagi integritas akademik atau justru menjadi inovasi kreatif yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan?
Bayangkan seorang mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Ia melihat iklan di Instagram yang menjanjikan, “Tulis skripsimu dalam 7 hari dengan bantuan AI!” Tawaran ini tentu menggiurkan, namun juga menimbulkan dilema etis. Di satu sisi, AI dapat membantu menganalisis ribuan artikel ilmiah dalam hitungan menit, memberikan sintesis dari berbagai sumber, dan bahkan menyarankan struktur argumentasi yang lebih kuat. Namun, di sisi lain, hal ini memunculkan kekhawatiran tentang originalitas dan integritas akademik. Dr. John Danaher, profesor hukum dan etika di National University of Ireland, berpendapat, “AI memiliki potensi untuk medemokratisasi akses terhadap pengetahuan dan meningkatkan produktivitas akademik. Namun, kita harus waspada terhadap risiko plagiarisme dan penggunaan yang tidak etis.” Pernyataan ini menyoroti dualisme AI dalam konteks akademik – sebagai alat yang powerful sekaligus berpotensi disalahgunakan.
Iklan-iklan pelatihan penulisan cepat dengan AI sering mempromosikan penggunaan sistem seperti GPT (Generative Pre-trained Transformer). Misalnya, seorang calon doktor yang sedang menulis disertasi tentang perubahan iklim bisa menggunakan AI untuk membantu merumuskan hipotesis berdasarkan analisis big data dari ribuan penelitian sebelumnya. AI tidak hanya mempercepat proses, tetapi juga dapat mengidentifikasi pola atau hubungan yang mungkin terlewatkan oleh peneliti manusia. Namun, Prof. Sarah Grison dari Parkland College memperingatkan, “Ada risiko bahwa mahasiswa akan terlalu bergantung pada AI, mengurangi kemampuan berpikir kritis dan kreativitas mereka sendiri.” Peringatan ini sangat relevan mengingat banyaknya tawaran “jalan pintas” dalam penulisan akademik yang beredar di media sosial.
Sementara itu, inovasi AI dalam deteksi plagiasi juga berkembang pesat. Bayangkan sebuah sistem yang tidak hanya mencocokkan frasa, tetapi juga dapat mengidentifikasi kesamaan ide atau struktur argumentasi, bahkan jika ditulis ulang dengan kata-kata berbeda. Ironisnya, beberapa iklan pelatihan penulisan dengan AI juga mengklaim dapat “menghindari deteksi plagiasi”, menimbulkan perdebatan etis yang sengit dalam komunitas akademik. Dr. Luciano Floridi, profesor filsafat dan etika informasi di University of Oxford, menyatakan, “AI dalam penulisan ilmiah seharusnya dilihat sebagai augmented intelligence, bukan artificial intelligence. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas peneliti, bukan menggantikannya.” Pandangan ini menekankan pentingnya memandang AI sebagai alat bantu, bukan pengganti proses kreatif akademik.
Beberapa iklan di Facebook dan LinkedIn menawarkan kursus penulisan artikel jurnal dalam waktu singkat menggunakan AI. Mereka menjanjikan peningkatan peluang publikasi di jurnal bereputasi. Meskipun menggiurkan, praktik ini menimbulkan pertanyaan tentang kualitas dan orisinalitas penelitian yang dihasilkan. Prof. Jennifer Widom, dekan School of Engineering di Stanford University, menambahkan, “AI memiliki potensi untuk mempercepat siklus penemuan ilmiah dengan membantu peneliti mengidentifikasi celah pengetahuan dan peluang penelitian baru dengan lebih efisien.” Namun, ia juga memperingatkan bahwa penggunaan AI harus diimbangi dengan pemahaman mendalam tentang subjek penelitian.
Dilema etis semakin kompleks dengan munculnya layanan “ghostwriting AI” yang diiklankan di berbagai platform media sosial. Layanan ini menjanjikan penulisan karya ilmiah lengkap oleh AI, menimbulkan pertanyaan serius tentang authorship dan integritas akademik. Dr. Carl Öhman dari Oxford Internet Institute mengingatkan, “Kita perlu mengembangkan literasi AI di kalangan akademisi, bukan hanya tentang cara menggunakannya, tetapi juga tentang implikasi etis dan epistemologisnya.” Ini termasuk kemampuan untuk mengevaluasi kritis tawaran-tawaran “ajaib” yang beredar di media sosial. Kesimpulannya, peran AI sebagai asistensi dalam penulisan karya ilmiah membawa potensi inovasi yang besar sekaligus tantangan yang kompleks. Maraknya iklan di media sosial yang menawarkan solusi cepat menggunakan AI hanya menambah kompleksitas isu ini. AI bukan ancaman jika digunakan dengan bijak dan etis, namun dapat menjadi masalah serius jika disalahgunakan untuk mencari jalan pintas dalam proses akademik.
Tantangan ke depan adalah mengembangkan kerangka etis dan praktis untuk integrasi AI dalam proses akademik, termasuk regulasi terhadap iklan dan layanan yang menjanjikan “keajaiban AI” dalam penulisan ilmiah. Ini meliputi revisi kebijakan akademik, pengembangan panduan penggunaan AI yang etis, dan yang terpenting, mendidik generasi baru peneliti untuk menggunakan AI sebagai alat yang memperkaya, bukan menggantikan, kemampuan berpikir kritis dan kreativitas mereka. Dengan demikian, kita telah menjelajahi kompleksitas peran AI dalam penulisan karya ilmiah, termasuk fenomena iklan yang menjanjikan kemudahan melalui AI. Sebagai komunitas akademik, kita berada di persimpangan era baru di mana teknologi dan kreativitas manusia berinteraksi dalam cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bagaimana kita menavigasi potensi dan tantangan ini akan menentukan masa depan integritas dan inovasi dalam dunia akademik. [AM. Amir]