Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
Teknologi

Era AI, Edisi #1: Revolusi AI dalam Pendidikan: Mengapa pendidik harus melek teknologi?

458
×

Era AI, Edisi #1: Revolusi AI dalam Pendidikan: Mengapa pendidik harus melek teknologi?

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
1
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Pernahkah anda membayangkan? dalam suasana pembelajaran di sebuah kelas, tiba-tiba seorang mahasiswa mengangkat tangan, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Ia mengajukan pertanyaan yang begitu mendalam dan kompleks, hingga sang guru terdiam sejenak. Bukan karena tidak tahu jawabannya, melainkan karena takjub akan ketajaman analisis sang mahasiswa. Inilah potret pendidikan di era kecerdasan buatan (AI) yang kini telah menjadi realitas di depan mata kita.

Admin

Setuju atau tidak, kita saat ini hidup di era teknologi yang berkembang dengan kecepatan yang belum pernah kita saksikan sebelumnya. Bahkan hal itu terjadi kurang dari satu dekade terakhir. Salah satu bentuk perkembangannya tampak dari teknologi Artificial Intelligence (AI). Teknologi ini bukan lagi sekadar jargon futuristik atau plot film fiksi ilmiah. Ia telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari kita, merambah ke berbagai sektor, termasuk pendidikan. Dari mesin pencari yang mampu memahami konteks pertanyaan kita, hingga kamera yang bisa mengenali objek dan wajah, AI telah mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia digital.

Namun, di tengah gegap gempita revolusi teknologi ini, muncul sebuah pertanyaan krusial: Sudahkah para pendidik kita siap menghadapi gelombang perubahan ini? Jawabannya, sayangnya, tidak selalu menggembirakan. Banyak pendidik masih terjebak dalam paradigma lama, di mana peran mereka hanya sebatas mentransfer pengetahuan. Padahal, di era AI ini, informasi bisa didapat hanya dengan sekali klik. Peran pendidik kini jauh lebih kompleks dan menantang. Mereka dituntut untuk menjadi fasilitator pembelajaran, pemicu kreativitas, dan yang terpenting, pembimbing dalam menyaring dan menganalisis lautan informasi yang tersedia.

Mari kita bayangkan sejenak. Jika seorang siswa bisa mendapatkan jawaban atas hampir semua pertanyaan faktual hanya dengan bertanya pada asisten AI, lalu apa peran guru? Jawabannya terletak pada kemampuan untuk mengajukan pertanyaan yang tepat, bukan sekadar memberikan jawaban.

Prof. Sugata Mitra, peraih TED Prize 2013 dan pencetus konsep “Sekolah dalam Awan”, pernah berkata, “Pendidikan bukan tentang menjawab, tapi tentang mengajukan pertanyaan yang tepat.” Pernyataan ini menjadi semakin relevan di era AI. Ketika mesin bisa menjawab pertanyaan dengan akurasi tinggi, tugas kita sebagai pendidik adalah mengajarkan bagaimana mengajukan pertanyaan yang mendorong pemikiran kritis dan kreativitas.

Bayangkan AI sebagai pisau tajam di dapur pendidikan. Ia bisa menjadi alat yang sangat berguna jika digunakan dengan benar, namun bisa juga menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan bijak. Seorang koki handal tidak hanya tahu cara menggunakan pisau, tapi juga memahami kapan harus menggunakannya dan untuk tujuan apa. Demikian pula, seorang pendidik di era AI harus mampu memanfaatkan teknologi ini sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti peran mereka.

Dengan demikian, AI bukanlah ancaman, melainkan kesempatan untuk merevolusi cara kita belajar dan mengajar. AI memiliki potensi untuk membantu kita memahami proses pembelajaran dengan cara yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya.”

Lantas, mengapa kemahiran operasional AI begitu penting bagi pendidik hari ini?

Pertama, hampir seluruh layanan digital kini telah menerapkan sistem algoritma AI. Dari mesin pencari yang kita gunakan sehari-hari, hingga aplikasi pembelajaran yang digunakan siswa, semuanya telah diintegrasikan dengan AI. Jika pendidik tidak memahami cara kerja dasar teknologi ini, mereka akan tertinggal dalam memahami bagaimana siswa mereka berinteraksi dengan informasi.

Kedua, AI telah mengubah ekspektasi siswa terhadap proses pembelajaran. Generasi digital native ini terbiasa dengan respons instan dan personalisasi. Mereka mengharapkan pengalaman belajar yang lebih interaktif, adaptif, dan relevan dengan kebutuhan individual mereka. Pendidik yang memahami AI dapat memanfaatkan teknologi ini untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih engage dan efektif.

Ketiga, dan mungkin yang paling penting, AI telah mengubah nature dari pertanyaan yang diajukan siswa. Tidak jarang, mahasiswa kini mengajukan pertanyaan yang bahkan belum terpikirkan oleh dosen mereka. Ini bukan tanda bahwa dosen tersebut kurang kompeten, melainkan bukti bahwa akses terhadap informasi telah membuka cakrawala pemikiran yang lebih luas bagi para siswa.

Dr. Ethan Mollick, Profesor di Wharton School, University of Pennsylvania, dalam sebuah artikelnya yang terbit di jurnal Harvard Business Review menyatakan, “AI seperti ChatGPT bukan hanya mengubah cara kita menjawab pertanyaan, tapi juga mengubah pertanyaan apa yang kita ajukan.” Ini menegaskan bahwa tugas pendidik kini bukan lagi sekadar menjadi sumber informasi, tapi menjadi pemandu dalam menjelajahi rimba raya pengetahuan yang kini terbuka luas.

Bayangkan pendidikan sebagai sebuah ekspedisi ke wilayah tak bertuan. Di masa lalu, guru adalah peta hidup yang menunjukkan jalan. Kini, dengan AI, setiap siswa memiliki GPS canggih di tangannya. Peran guru berubah menjadi pemimpin ekspedisi yang mengajarkan bagaimana membaca peta, memahami medan, dan yang terpenting, bagaimana menentukan tujuan ekspedisi itu sendiri. Oleh karena itu, fokus pembelajaran hari ini harus bergeser. Bukan lagi tentang bagaimana menjelaskan fakta atau konsep, tapi bagaimana merumuskan pertanyaan yang tepat untuk mendapatkan jawaban yang dibutuhkan. Ini adalah keterampilan meta-kognitif yang akan menjadi sangat berharga di era informasi yang berlimpah ini.

Prof. Andreas Schleicher, Direktur Pendidikan OECD, dalam sebuah wawancara menyatakan, “Di masa depan, kesuksesan akan datang kepada mereka yang tahu apa yang harus dilakukan ketika mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.” Pernyataan ini menekankan pentingnya kemampuan berpikir kritis dan kreatif di era AI. Namun, pergeseran paradigma ini bukanlah hal yang mudah. Banyak pendidik yang merasa terancam oleh kemajuan AI, khawatir bahwa peran mereka akan tergantikan. Padahal, justru sebaliknya. Era AI ini membuka peluang bagi para pendidik untuk menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Bayangkan AI sebagai asisten yang sangat cerdas dan efisien. Ia bisa menangani tugas-tugas rutin seperti memeriksa pekerjaan rumah, memberikan umpan balik cepat, atau bahkan menyusun materi pembelajaran dasar. Ini membebaskan waktu dan energi pendidik untuk fokus pada aspek-aspek pembelajaran yang lebih kompleks dan mendalam, seperti pengembangan karakter, pemecahan masalah kreatif, dan pembimbingan personal.

Lantas, bagaimana para pendidik bisa mempersiapkan diri menghadapi era AI ini?

Pertama, mereka perlu memahami dasar-dasar cara kerja AI. Ini tidak berarti harus menjadi ahli pemrograman, tapi setidaknya memahami konsep-konsep dasarnya. Pemahaman ini akan membantu mereka memanfaatkan AI secara efektif dalam proses pembelajaran.

Kedua, pendidik perlu mengembangkan keterampilan dalam merancang pertanyaan yang mendorong pemikiran tingkat tinggi. Pertanyaan-pertanyaan yang menuntut analisis, sintesis, dan evaluasi akan menjadi semakin penting. Ini bukan hanya akan membantu siswa belajar lebih dalam, tapi juga mempersiapkan mereka menghadapi dunia di mana AI menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari.

Ketiga, pendidik perlu menjadi pembelajar seumur hidup. Teknologi AI berkembang dengan sangat cepat. Apa yang relevan hari ini mungkin sudah ketinggalan zaman besok. Oleh karena itu, pendidik perlu terus memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka.

Saatnya Kita perlu sistem pendidikan yang mempersiapkan orang untuk belajar sepanjang hidup mereka, karena pekerjaan akan terus berubah dan keterampilan baru akan selalu dibutuhkan.” Namun, di tengah semua perubahan ini, ada satu hal yang tetap konstan: peran pendidik sebagai pembimbing dan inspirator. AI mungkin bisa memberikan informasi dan bahkan membantu dalam proses pembelajaran, tapi ia tidak bisa menggantikan sentuhan manusiawi seorang guru yang peduli.

Dr. Vivienne Ming, seorang teoretikus neurosains dan pengusaha AI, dalam sebuah TED Talk menyatakan, “AI bisa menjadi guru yang hebat, tapi ia tidak bisa menjadi mentor yang inspiratif.” Ini menegaskan bahwa meskipun teknologi berkembang pesat, peran manusia dalam pendidikan tetap tak tergantikan. Bayangkan pendidikan sebagai sebuah orkestra. Di masa lalu, guru adalah konduktor sekaligus pemain utama. Kini, dengan hadirnya AI, guru menjadi konduktor yang memimpin sebuah orkestra di mana AI dan siswa adalah para pemainnya. Tugas konduktor adalah memastikan semua elemen bermain harmonis, menciptakan simfoni pembelajaran yang indah.

Nantikan edisi kedua, hanya di Kalosara.id

402 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
1
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350