Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
EkonomiOpini

Dilematis antara Pilihan Idealisme atau Pragmatisme: Sebuah Refleksi Kehidupan Manusia Modern

317
×

Dilematis antara Pilihan Idealisme atau Pragmatisme: Sebuah Refleksi Kehidupan Manusia Modern

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
8
+1
4
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Tulisan ini berawal dari fakta sosial yang saya saksikan di sekitar lingkungan tempat saya berinteraksi setiap hari. Berbagai praktik hegemoni dan kapitalisasi menjadi sebuah budaya yang seolah normal di hadapanku, namun sebenarnya menyimpan dampak kerugian laten yang berefek domino. Mungkin tidak berlebihan jika saya menyebutnya sebagai dampak ketidaksatabilan ekonomi global. Kondisi ini telah menciptakan lapangan kerja yang semakin sempit, daya beli masyarakat menurun, dan akses terhadap pendidikan serta layanan kesehatan yang berkualitas menjadi privilege bagi segelintir orang. Kondisi ini memicu stres, kecemasan, dan ketidakpuasan hidup yang menjadi ciri khas manusia modern.

Krisis ekonomi juga mendorong eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan meraih popularitas. Pertambangan liar yang semakin merajalela menjadi salah satu biang kerok dari problem ini. Akibatnya, krisis lingkungan dan perubahan iklim yang mengancam kelangsungan hidup generasi mendatang tidak terelakkan. Lebih jauh lagi, tekanan ekonomi memaksa banyak orang untuk bekerja lebih keras dengan waktu istirahat yang minim. Hal ini berdampak pada kesehatan mental dan fisik, serta mengorbankan waktu berharga bersama keluarga dan komunitas.

Di sisi yang lain, saya juga menyaksikan adanya kecenderungan manusia modern saat ini yang dihadapkan pada dilema integritas mereka. Tidak jarang, mereka lebih memilih antara uang atau mempertahankan prinsip idealismenya. Fenomena ini mencerminkan krisis nilai yang lebih dalam di masyarakat kita yang semakin materialistis. Tekanan ekonomi telah mengikis idealisme banyak orang, memaksa mereka untuk mengesampingkan cita-cita dan visi perubahan sosial demi bertahan hidup atau mengejar kenyamanan materi. Akibatnya, pragmatisme berlebihan menjadi norma, dengan mantra “uang adalah segalanya” yang mendominasi pemikiran banyak orang.

Kegelisahan-kegilsahan itulah yang mengingatkan kembali memori saya pada beberapa pandangan pakar sosiolog. Erich Fromm misalnya, dalam bukunya “To Have or to Be?“, yang mengkritik masyarakat modern karena terlalu berorientasi pada kepemilikan materi. Dia berpendapat bahwa fokus berlebihan pada “memiliki” daripada “menjadi” telah mengikis nilai-nilai kemanusiaan dan menghasilkan alienasi. Hal itu juga senada dengan pandangan Noam Chomsky (sosiolog) yang juga sering mengkritik sistem kapitalis. Menurutnya, sistem kapitalisme telah menciptakan dilema etis bagi individu yang harus memilih antara bertahan hidup ekonomi dan prinsip-prinsip moral. Demikian pula pandangan Jean Baudrillard (filsuf dan sosiolog) dalam teorinya “hiperrealitas”, yang menggambarkan bagaimana masyarakat konsumsi modern telah menciptakan realitas yang didominasi oleh simbol dan citra, sering kali terkait dengan status material, yang mengaburkan nilai-nilai autentik.

Konsekuensi dari prioritas berlebihan pada aspek finansial ini sangatlah mendalam. Individu yang berulang kali mengorbankan prinsip demi uang berisiko mengalami krisis identitas dan devaluasi harga diri. Meski mungkin tercukupi secara materi, banyak yang merasa hampa dan kehilangan rasa hormat terhadap diri sendiri. Lebih jauh lagi, fenomena ini melemahkan ikatan sosial, mendorong hubungan interpersonal yang lebih transaksional dan mengikis modal sosial yang penting bagi kesejahteraan kolektif.

Setelah mendalami berbagai aspek krisis yang dihadapi manusia modern, maka saya sampai pada suatu kesimpulan yang mungkin mengejutkan namun sekaligus mencerahkan. Ternyata, di balik berbagai problematika yang tampak kompleks dan beragam tersebut, terdapat satu benang merah yang menghubungkan semuanya, yaitu kebutuhan materi yang seringkali tersembunyi di balik lapisan-lapisan hegemoni. Hegemoni-hegemoni ini, baik dalam bentuk ideologi, budaya konsumerisme, maupun sistem sosial-ekonomi yang mapan, sebenarnya berakar pada dorongan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan materi. Namun, dorongan ini telah berkembang jauh melampaui kebutuhan dasar dan berubah menjadi pengejaran tanpa henti akan kekayaan dan status material. Seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx,

The ideas of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force.” (Ide-ide dari kelas penguasa di setiap zaman adalah ide-ide mereka yang berkuasa, yaitu kelas yang merupakan kekuatan material yang berkuasa dalam masyarakat, sekaligus juga merupakan kekuatan intelektual yang berkuasa).

The German Ideology, 1845

Pernyataan ini menyoroti bagaimana gagasan-gagasan yang dominan dalam masyarakat cenderung mencerminkan kepentingan dan perspektif kelas sosial yang secara ekonomi dan politis berkuasa. Ironisnya, pencarian akan pemenuhan materi ini justru menciptakan krisis-krisis baru. Mulai dari krisis identitas, erosi nilai-nilai moral, hingga kerusakan lingkungan – semuanya dapat dilacak kembali ke obsesi kolektif kita akan kesuksesan material.

Hegemoni kapitalisme global, misalnya, bukan hanya sistem ekonomi, tetapi telah menjadi cara pandang yang mendefinisikan nilai diri dan kebahagiaan manusia berdasarkan akumulasi kekayaan. Melalui kontrol mereka atas lembaga-lembaga kunci seperti pendidikan, media, dan lembaga keagamaan, kelas yang berkuasa dapat menyebarkan dan melegitimasi pandangan dunia yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Ide-ide ini kemudian menjadi hegemonik, diterima sebagai “akal sehat” atau “kearifan konvensional” oleh mayoritas masyarakat, bahkan ketika ide-ide tersebut mungkin merugikan kepentingan kelas-kelas yang lebih rendah.

Pada akhirnya, jalan keluar dari problematika manusia modern mungkin bukan terletak pada pencarian solusi-solusi eksternal, melainkan pada transformasi internal dalam cara kita memandang kebutuhan, kesuksesan, dan makna hidup. Meskipun penerapan harfiah ide-ide Marxis mungkin diperdebatkan, gagasan intinya bahwa ide-ide berkuasa mencerminkan kepentingan kelas yang berkuasa tetap menjadi alat analitis yang berharga untuk memeriksa secara kritis hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan ideologi dalam masyarakat kita saat ini. Dengan demikian, kita dapat membebaskan diri dari jeratan materi yang tersembunyi di balik berbagai hegemoni, dan menemukan kembali esensi kemanusiaan kita yang sejati.

300 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
8
+1
4
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350