Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
KeagamaanOpiniSejarahSosio-KulturalTradisi

“Refleksi Sejarah Hijrah dan Puasa Asyura: Jembatan Toleransi Antar Iman di Tengah Polarisasi Global”

212
×

“Refleksi Sejarah Hijrah dan Puasa Asyura: Jembatan Toleransi Antar Iman di Tengah Polarisasi Global”

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
0
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Tahun Baru Hijriah 1446 H menjadi momen yang tepat bagi umat Islam untuk merenungkan kembali sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, serta mengambil hikmah dari peristiwa hijrah yang menjadi tonggak awal penanggalan Islam. Bersamaan dengan itu, perintah puasa Asyura yang jatuh pada bulan Muharram menambah keistimewaan bulan pertama dalam kalender Hijriah ini.

Sejarah Tahun Baru Hijriah dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Hijrah ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan sebuah transformasi besar dalam sejarah Islam. Di Madinah, Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Islam pertama yang berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan.

Penetapan kalender Hijriah sendiri terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, sekitar 17 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Keputusan ini diambil untuk mengatur administrasi negara yang semakin kompleks dan meluas. Dipilihnya peristiwa hijrah sebagai awal penanggalan menunjukkan betapa pentingnya makna hijrah dalam sejarah Islam.

Memasuki tahun 1446 H, umat Islam diajak untuk merefleksikan makna hijrah dalam konteks kehidupan modern. Hijrah tidak hanya dimaknai sebagai perpindahan fisik, tetapi juga sebagai transformasi spiritual dan moral. Ini adalah perjalanan dari kegelapan menuju cahaya, dari kebodohan menuju ilmu, dari keburukan menuju kebaikan.

Di era digital yang penuh tantangan dan godaan, makna hijrah menjadi semakin relevan. Umat Islam dituntut untuk “berhijrah” dari kebiasaan buruk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, seperti kecanduan media sosial, penyebaran informasi hoax, atau perilaku intoleran. Sebaliknya, mereka didorong untuk hijrah menuju perilaku yang lebih positif, produktif, dan bermanfaat bagi masyarakat.

Tahun Baru Hijriah juga menjadi momentum untuk mengevaluasi diri dan memperbaharui tekad. Ini adalah saat yang tepat untuk introspeksi, mengakui kesalahan masa lalu, dan berkomitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik di tahun yang baru. Seperti Nabi Muhammad SAW yang memulai lembaran baru di Madinah, umat Islam juga diajak untuk memulai lembaran baru dalam kehidupan mereka.

Hikmah lain yang bisa dipetik dari peristiwa hijrah adalah pentingnya persatuan dan kerjasama. Di Madinah, Nabi Muhammad SAW berhasil menyatukan kaum Muhajirin (pengikut yang hijrah dari Mekah) dan Anshar (penduduk asli Madinah) dalam ikatan persaudaraan yang kuat. Ini mengajarkan bahwa perbedaan latar belakang bukanlah penghalang untuk membangun masyarakat yang harmonis.

Dalam konteks dunia yang semakin terpolarisasi, pelajaran ini menjadi sangat penting. Umat Islam diajak untuk menjembatani perbedaan, membangun dialog antar kelompok yang berbeda, dan berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang inklusif dan toleran.

Bersamaan dengan datangnya Tahun Baru Hijriah, umat Islam juga dianjurkan untuk melaksanakan puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram. Puasa ini memiliki sejarah yang menarik dan mengandung hikmah yang dalam.

Menurut hadits, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Ketika ditanya, mereka menjelaskan bahwa hari itu adalah hari ketika Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa AS dan pengikutnya dari kejaran Firaun. Sebagai rasa syukur, mereka berpuasa pada hari tersebut.

Nabi Muhammad SAW kemudian bersabda bahwa umat Islam lebih berhak untuk mengikuti teladan Nabi Musa AS. Beliau pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan pengikutnya untuk melakukan hal yang sama. Ini menunjukkan sikap inklusif Islam terhadap tradisi agama lain yang sejalan dengan ajaran tauhid.

Puasa Asyura mengandung banyak hikmah. Pertama, ini adalah bentuk rasa syukur atas nikmat Allah SWT, khususnya nikmat keselamatan dan kebebasan dari penindasan. Dalam konteks modern, ini bisa dimaknai sebagai rasa syukur atas kebebasan beragama dan hak-hak asasi manusia yang kita nikmati saat ini.

Kedua, puasa Asyura mengingatkan kita pada perjuangan para nabi dan rasul dalam menegakkan kebenaran. Kisah Nabi Musa AS menghadapi Firaun adalah contoh perjuangan melawan kezaliman dan penindasan. Ini mengajarkan umat Islam untuk selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan, meskipun harus menghadapi tantangan besar.

Ketiga, puasa Asyura mengajarkan solidaritas antar umat beragama. Fakta bahwa Nabi Muhammad SAW mengadopsi praktik puasa yang awalnya dilakukan oleh komunitas Yahudi menunjukkan bahwa Islam menghargai nilai-nilai universal yang ada dalam tradisi agama lain.

Keempat, puasa Asyura menjadi sarana untuk melatih pengendalian diri dan kesabaran. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh godaan, kemampuan untuk mengendalikan diri menjadi sangat penting. Puasa mengajarkan kita untuk menahan tidak hanya dari makan dan minum, tetapi juga dari perilaku dan ucapan yang tidak baik.

Kelima, puasa Asyura menumbuhkan empati terhadap mereka yang kurang beruntung. Dengan merasakan lapar dan haus, kita diingatkan pada penderitaan orang-orang yang kekurangan makanan sehari-hari. Ini diharapkan dapat mendorong sikap lebih peduli dan dermawan terhadap sesama.

Memasuki tahun 1446 H, umat Islam diajak untuk menghayati makna hijrah dan puasa Asyura dalam konteks kehidupan modern. Hijrah bisa dimaknai sebagai upaya terus-menerus untuk memperbaiki diri dan lingkungan. Ini bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti menjaga kebersihan lingkungan, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, atau aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

Sementara itu, semangat puasa Asyura bisa diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap sesama, terutama mereka yang kurang beruntung. Ini bisa berupa berbagi makanan dengan tetangga yang membutuhkan, menyumbang untuk korban bencana alam, atau menjadi relawan di lembaga sosial.

Tahun Baru Hijriah dan puasa Asyura juga menjadi momen yang tepat untuk memperkuat persatuan umat Islam dan membangun hubungan yang lebih baik dengan pemeluk agama lain. Ini bisa dilakukan melalui dialog antar iman, kerjasama dalam proyek-proyek sosial, atau sekedar saling mengucapkan selamat pada hari-hari besar keagamaan.

Pada akhirnya, peringatan Tahun Baru Hijriah 1446 H dan puasa Asyura bukanlah sekadar ritual tahunan, melainkan kesempatan untuk memperbaharui komitmen kita sebagai umat Islam dan sebagai bagian dari masyarakat global. Ini adalah momen untuk menghidupkan kembali semangat hijrah dalam konteks kehidupan modern, memperkuat solidaritas sosial, dan berkontribusi pada terciptanya dunia yang lebih baik.

Semoga dengan merenungkan sejarah, merefleksikan diri, dan mengambil hikmah dari Tahun Baru Hijriah dan puasa Asyura, umat Islam dapat menjadi agen perubahan positif di tengah masyarakat. Seperti Nabi Muhammad SAW yang mengubah Madinah menjadi masyarakat yang berkeadilan, umat Islam hari ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih adil, damai, dan sejahtera. [AM.Amir]

208 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
0
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350