Oleh Muhammad Amri, Lc., M.Th.I. (Mahasiswa Program Short Course jenjang Doktoral PKU-MI/UPTIQ/LPDP di UCR California Amerika Serikat)
Mentari pagi di California menyapaku lembut, membawa aroma musim panas yang khas. Kulangkahkan kakiku menuju masjid NMC di San Bernardino, tempat yang kini menjadi rumah kedua bagiku di negeri asing ini. Hari itu adalah Idul Adha, dan hatiku berdebar, campuran antara antisipasi dan kerinduan akan tanah air.
Begitu memasuki halaman masjid, aroma rempah-rempah Indonesia langsung menyeruak, membelai indera penciumanku. Tenda putih besar berdiri megah, menjadi saksi bisu pertemuan budaya yang unik. Di sekelilingku, wajah-wajah familiar berkumpul, membentuk mozaik diaspora Indonesia di negeri Paman Sam.
Kuambil piring, lalu bergabung dalam antrian panjang yang bergerak perlahan. Mataku menjelajahi deretan hidangan yang tersaji: gulai kambing yang mengepul, lontong yang menggiurkan, dan berbagai penganan khas Nusantara lainnya. Sejenak, aku terlempar kembali ke kampung halaman, ke pelukan keluarga yang kini terpisah ribuan mil.
Namun, di tengah lamunanku, sesuatu menarik perhatianku. Tiga wajah asing namun familiar sekaligus. Mereka terlihat berbeda, dengan fitur wajah yang lebih condong ke Barat, namun ada sesuatu yang tidak bisa kusangkal – sebuah aura Indonesia yang samar tapi pasti.
Dengan piring penuh di tangan, kuputuskan untuk bergabung dengan ketiga pemuda ini. Mereka menyapa dalam bahasa Inggris khas Amerika, namun ada kehangatan dalam suara mereka yang mengingatkanku pada rumah.
“Hey, mind if I join you guys?” tanyaku, sedikit gugup.
Mereka tersenyum lebar, “Sure, come on in!”
Percakapan mengalir dengan mudah. Kudengarkan dengan seksama cerita mereka – mahasiswa keperawatan dan kedokteran, anak-anak diaspora yang tumbuh di antara dua dunia. Kami berbicara tentang gulai dan pizza, tentang tantangan menjadi Muslim di Amerika, dan tentang ikatan yang tak terputus dengan tanah leluhur.
Sembari menyantap hidangan, aku teringat akan kontroversi di tanah air mengenai pemain sepak bola keturunan. Kutatap ketiga pemuda di hadapanku, melihat bagaimana mereka begitu menyatu dengan komunitas, berbagi tawa dan cerita dengan jamaah lainnya.
Dalam hati, aku tersenyum. Kini aku paham. Mereka mungkin berbeda dalam penampilan, dalam logat bicara, namun ada sesuatu yang tak bisa disangkal – cinta pada Indonesia yang mengalir dalam darah mereka.
Menjelang siang ketika acara usai. Kulangkahkan kakiku keluar masjid dengan hati yang ringan. Pengalaman hari itu telah mengajarkanku sebuah pelajaran berharga tentang keberagaman, tentang identitas, dan tentang apa artinya menjadi Indonesia.
Dalam perjalanan pulang, aku bertekad untuk membagikan cerita ini. Cerita tentang wajah-wajah blasteran yang merayakan Idul Adha di negeri asing, namun dengan hati yang selalu merindukan kampung halaman. Karena pada akhirnya, kusadari bahwa Indonesia bukan hanya tentang warna kulit atau bentuk wajah, tapi tentang cinta yang tumbuh dalam hati setiap insan yang mengaku sebagai bagian dari Nusantara.
Pengalaman ini mengubah perspektifku. Kini, ketika mendengar perdebatan tentang pemain keturunan di Timnas, aku punya sudut pandang baru untuk dibagikan. Tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, seharusnya menyambut mereka yang mungkin terlihat berbeda, namun membawa Indonesia dalam hati mereka.
Malam itu, kusimpan kenangan ini dalam-dalam. Idul Adha di negeri asing, dihiasi wajah-wajah blasteran, telah memberiku pemahaman baru tentang arti kebangsaan. Dan aku, Muhammad Amri, berjanji untuk membawa pesan ini kembali ke tanah air tercinta.