Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
Bedah ArtikelKajian Literatur

Tafsir Al-Qur’an di Era Digital: Kontestasi Otoritas dan Wacana

776
×

Tafsir Al-Qur’an di Era Digital: Kontestasi Otoritas dan Wacana

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
1
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Internet telah menjadi tempat paling penting untuk mengakses sumber daya tafsir bagi banyak Muslim di era digital.”


Artikel ini merupakan resume dari tulisan Johannna Pink dalam artikelnya yang berjudul “Muslim Qur’ānic Interpretation Today: Media, Genealogies and Interpretive Communities” menyajikan sebuah analisis yang mendalam dan komprehensif mengenai lanskap tafsir Al-Qur’an kontemporer yang kompleks dan beragam. Ia berargumen bahwa penafsiran Al-Qur’an saat ini “berlangsung dalam jaringan relasi kuasa lokal dan global” serta “medan pertarungan di mana interpretasi individual didorong ke tampuk atau dipinggirkan.”1 Dengan kata lain, tafsir tidak hanya merupakan aktivitas intelektual semata, tetapi juga praktik sosial yang melibatkan kontestasi berbagai kepentingan dan otoritas.

Selain itu, artikel ini juga secara komprehensif membahas kompleksitas dan keberagaman interpretasi Al-Qur’an kontemporer di kalangan Muslim. Pink menganalisis bagaimana berbagai faktor seperti otoritas agama, struktur kekuasaan, media, komunitas tafsir, dan nilai-nilai sosial membentuk penafsiran Al-Qur’an saat ini. Melalui berbagai studi kasus dari kitab tafsir, karya akademik, pidato agama, hingga media internet, Pink menunjukkan adanya ketegangan antara: lokalitas vs globalitas, hierarki vs egalitarianisme, serta tradisi vs inovasi dalam tafsir Al-Qur’an. Melalui kerangka analisis genealogi ala Michel Foucault, Pink menelusuri akar dan perkembangan tren tafsir terkini serta kaitannya dengan relasi kuasa.2 Ini merupakan langkah inovatif karena umumnya studi tafsir berfokus pada analisis tekstual-hermeneutis semata. Pendekatan Pink diharapkan membuka jalan bagi lebih banyak lagi kajian sosio-antropologis atas tafsir kontemporer.

Pink menggarisbawahi adanya ketegangan antara tendensi universalisme dan partikularisme, sentralisme dan pluralisme, serta tradisionalisme dan progresivisme dalam diskursus tafsir mutakhir.2 Ketegangan ini, menurutnya, “tidak dapat direduksi menjadi dikotomi sederhana seperti ‘konservatif vs modern’,”3 melainkan mencerminkan genealogi dan dinamika yang rumit dari berbagai pendekatan terhadap Al-Qur’an. Seyyed Hossein Nasr, filsuf Muslim terkemuka, menyebut fenomena ini sebagai “krisis dalam memahami Al-Qur’an”4 di tengah perubahan zaman.

Melalui pembacaan intensif terhadap beragam literatur tafsir, baik akademik maupun populer, Pink mengidentifikasi setidaknya lima orientasi utama dalam penafsiran Al-Qur’an saat ini:

  1. Ulama yang melanggengkan tradisi klasik,
  2. Modernis yang mengupayakan rekontekstualisasi,
  3. Islamis yang menjadikan Al-Qur’an sebagai ideologi holistik,
  4. Salafi yang mendakwahkan pembacaan literal-skripturalis,
  5. Postmodernis yang menekankan watak subjektif tafsir.5

Di antara kelompok-kelompok ini, para ulama masih memiliki pengaruh kuat sebagai “penjaga tradisi genealogis tafsir.”6 Popularitas kitab tafsir Ibn Kathir dan eksistensi lembaga-lembaga seperti Al-Azhar adalah buktinya. Namun di saat yang sama, Pink menyatakan bahwa “sulit bagi institusi keagamaan mana pun untuk mengontrol pluralitas pendekatan terhadap Al-Qur’an.”7 Sebabnya adalah munculnya aktor-aktor baru dalam ruang publik Islam berkat revolusi media dan komunikasi.

Dalam konteks ini, para pembaharu Muslim seperti Muḥammad ʿAbduh, Fazlur Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd berupaya “memisahkan pemahaman Al-Qur’an masa kini dari tradisi pra-modern”8 melalui pendekatan kontekstual-historis. Mereka menekankan “maksud-maksud (maqasid) yang lebih tinggi”9 dari Al-Qur’an ketimbang makna literal ayat-ayat spesifik. Meski demikian, Ebrahim Moosa memperingatkan bahwa modernisme Islam juga tidak luput dari “asumsi-asumsi patriarkal” zamannya.10

Sementara itu, gerakan-gerakan Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan Jamaat-e-Islami mempromosikan Al-Qur’an sebagai “jalan hidup yang menyeluruh (manhaj)”11 dan “sistem sempurna (nizam)”12 bagi Muslim modern. Tokoh-tokoh seperti Sayyid Qutb dan Abul A’la Maududi menyerukan “kembali kepada Al-Qur’an” sebagai solusi atas krisis masyarakat. Menurut Roxanne Euben, ini mencerminkan upaya Islamisme untuk “mendomestikasi modernitas” dalam kerangka nilai-nilai Islam.13

Di spektrum yang lain, kaum Salafi berupaya menghidupkan kembali “cara hidup komunitas Islam yang pertama”14 melalui pembacaan literal terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka cenderung “anti-intelektualisme”15 dan menolak khazanah penafsiran klasik sebagai bidah. Bernard Haykel menyebut fenomena ini sebagai “fundamentalisme dalam tafsir”16 yang abai terhadap kritik historis atas teks.

Akhirnya, ada pula suara-suara postmodernis yang berupaya mendekonstruksi klaim-klaim kebenaran tunggal dalam tafsir. Mereka menekankan “legitimasi memperhitungkan faktor eksternal seperti hati nurani dan nilai sosial dalam interpretasi.”17 Pendekatan semacam ini, menurut Khaled Abou El Fadl, penting untuk membangun “etika pembacaan demokratis”18 atas Al-Qur’an di tengah keragaman umat.

Di balik polarisasinya, Pink menunjukkan bahwa berbagai penafsiran Al-Qur’an tersebut sama-sama memanfaatkan teknologi media baru untuk diseminasi. Internet, khususnya, telah menjadi “tempat paling penting untuk mengakses sumber daya tafsir bagi banyak orang.”19 Meski membawa demokratisasi, fenomena ini juga memunculkan kekhawatiran atas “hilangnya kontrol atas produksi pengetahuan Islam,”20 seperti diungkap Gary Bunt.

Sebagai kesimpulan, Pink menegaskan bahwa kompleksitas tafsir Al-Qur’an masa kini tidak dapat dilepaskan dari konteks “jaringan hubungan kekuasaan lokal dan global” serta “peran media modern dalam membentuk wacana.”21 Memahami dinamika ini, dengan menelusuri akar genealogis dan sosiologisnya, adalah kunci untuk memetakan kesinambungan sekaligus pergeseran dalam tradisi penafsiran Islam.22 Ini merupakan tantangan akademis sekaligus teologis di era kontemporer.

Footnotes

  1. Johanna Pink, “Muslim Qur’ānic Interpretation Today,” 7.
  2. Ibid., 5.
  3. Ibid., 11.
  4. Seyyed Hossein Nasr, “The Study Quran: A New Translation and Commentary,” HarperOne, 2015, xiv.
  5. Pink, “Muslim Qur’ānic Interpretation Today,” 12.
  6. Ibid., 38.
  7. Ibid., 3.
  8. Ibid., 125.
  9. Ibid., 128.
  10. Ebrahim Moosa, “The Debts and Burdens of Critical Islam” in Omid Safi (ed.), “Progressive Muslims,” Oneworld Publications, 2003, 119.
  11. Pink, “Muslim Qur’ānic Interpretation Today,” 181.
  12. Sayyid Abul A’la Maududi, “The Islamic Way of Life,” Islamic Foundation, 2001, 40.
  13. Roxanne Euben, “Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism,” Princeton University Press, 1999, 169.
  14. Pink, “Muslim Qur’ānic Interpretation Today,” 48.
  15. Henri Lauzière, “The Making of Salafism: Islamic Reform in the Twentieth Century,” Columbia University Press, 2016, 240.
  16. Bernard Haykel, “On the Nature of Salafi Thought and Action,” in Roel Meijer (ed.), “Global Salafism,” Hurst, 2009, 38.
  17. Pink, “Muslim Qur’ānic Interpretation Today,” 265.
  18. Khaled Abou El Fadl, “Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women,” Oneworld, 2001, 99.
  19. Pink, “Muslim Qur’ānic Interpretation Today,” 6.
  20. Gary Bunt, “iMuslims: Rewiring the House of Islam,” University of North Carolina Press, 2009, 276.
  21. Pink, “Muslim Qur’ānic Interpretation Today,” 284.
  22. Ibid., 9.
699 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
1
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350