“Ortodoksi menurut Asad bukanlah sekadar doktrin, tapi suatu relasi kuasa. Di mana pun Muslim memiliki kuasa untuk menentukan praktik yang benar dan menyingkirkan yang salah, di situlah domain ortodoksi.”
Ovamir Anjum
Tulisan ini membahas konsep “Islam as Disrcusive Tradition” (Islam sebagai Tradisi Diskursif) yang ditawarkan oleh Talal Asad, seorang antropolog kelahiran Arab Saudi yang saat ini menjabat sebagai Profesor Emeritus Antropologi dan Studi Timur Tengah terkemuka di Pusat Pascasarjana Universitas Kota New York. Konsep ini berusaha menjembatani dikotomi yang sering muncul dalam studi Islam, yaitu antara Islam yang dipandang universal dan tunggal dengan “Islam-Islam lokal” yang beragam.
Anjum menjelaskan bahwa upaya awal dalam antropologi untuk memahami agama-agama dunia, termasuk Islam, sering terjebak pada dikotomi “tradisi besar” (reflektif, tekstual, ortodoks) vs “tradisi kecil” (lokal, populer, heterodoks). Studi-studi awal antropologi Islam, seperti karya Clifford Geertz, berusaha lepas dari fokus tekstual orientalis dengan mempelajari Islam sebagaimana dihayati secara konkrit. Namun hal ini memunculkan kesulitan untuk menghubungkan gambaran Islam antropologis yang beragam dengan Islam universal dari para orientalis.
Anjum lalu mengulas argumen Abdul Hamid el-Zein yang menolak upaya untuk menemukan satu Islam di balik beragam manifestasi lokalnya. Bagi el-Zein, setiap ekspresi Islam sama validnya secara antropologis. Semua ekspresi Islam menciptakan jaringan makna dan simbolnya sendiri-sendiri. Upaya mensintesis aneka makna ini hanya akan membekukan dan mendistorsinya. El-Zein menyimpulkan bahwa antropologi Islam tidak mungkin karena Islam tak bisa dijadikan objek analitis tunggal.
Namun menurut Anjum, el-Zein terlalu fokus pada pengalaman agama tanpa mempertimbangkan tradisi yang membentuk pengalaman itu. Pendekatan el-Zein melumpuhkan kajian tentang perubahan, kebangkitan, pembaruan, dan dialog antarbudaya dalam Islam. Alternatifnya adalah konsep “Islam sebagai tradisi diskursif” dari Talal Asad.
Sumber gambar: https://anthropology.columbia.edu/
Asad mendefinisikan tradisi diskursif Islam sebagai sekumpulan wacana yang terbangun secara historis, termanifestasi dalam praktik dan institusi masyarakat Muslim, dan sangat terkait dengan kehidupan material Muslim. Tradisi diskursif Islam memiliki gaya penalaran dan rasionalitasnya sendiri yang tertuang dalam teks, sejarah, dan institusinya. Pendekatan ini memungkinkan mendiskusikan ortodoksi dan ortopraksis melalui kajian atas teks-teks dasar serta teknik interpretasinya yang diterima secara luas.
Ortodoksi menurut Asad bukanlah sekadar doktrin, tapi suatu relasi kuasa. Di mana pun Muslim memiliki kuasa untuk menentukan praktik yang benar dan menyingkirkan yang salah, di situlah domain ortodoksi. Bagaimana kuasa ini dijalankan dan ditentang menjadi perhatian antropologi Islam. Namun pendekatan ini bukan berarti mereduksi ortodoksi pada hubungan kuasa semata.
Anjum menunjukkan dari argumen Asad, Ortodoksi translokal (dengan O besar) dalam Islam melampaui sekadar ortodoksi (dengan o kecil) yang dikonstruksi secara lokal. Ortodoksi ini mengacu pada teks dan narasi historis tertentu sebagai landasannya. Jadi ada kriteria lintas tempat dan waktu yang mendefinisikan Ortodoksi dalam tradisi diskursif Islam, meskipun pelaksanaan konkritnya bisa beragam dan sarat kuasa.
Anjum kemudian mengevaluasi aplikasi konsep Asad oleh dua pengikutnya. Analisis Charles Hirschkind terhadap kontroversi Nasr Abu Zayd dianggap lebih selaras dengan konsep Asad. Hirschkind menunjukkan upaya Abu Zayd untuk menundukkan rasionalitas Islam pada konstruk Barat modern dianggap melampaui batas ortodoksi oleh para pengkritiknya berdasarkan kontinuitas tradisi diskursif teks Islam yang mereka rujuk bersama.
Sebaliknya, analisis Salwa Ismail cenderung mereduksi ortodoksi pada relasi kuasa semata, seolah tak ada Ortodoksi translokal. Ia melihat ortodoksi sebagai konstruk lokal semata yang bisa dimanipulasi. Pandangan ini mengabaikan bahwa para pelaku yang terlibat dalam kontestasi ortodoksi juga mengacu pada satu tradisi diskursif yang sama, meskipun dengan penafsiran berbeda.
Sebagai kesimpulan, konsep “Islam sebagai tradisi diskursif” dari Talal Asad menawarkan pendekatan baru dalam antropologi Islam yang menghindari esensialisme orientalis maupun relativisme lokal, dengan memberi perhatian pada rasionalitas dan dimensi translokal dari tradisi Islam, di samping manifestasi lokalnya yang sarat kuasa. Ortodoksi Islam dipahami bukan sekadar sebagai doktrin, tapi suatu proses diskursif yang mengacu pada teks dan sejarah bersama, meski terbuka pada kontestasi di tingkat lokal. Wawasan ini melengkapi kajian antropologi tentang masyarakat Muslim dengan dimensi historis dan global dari tradisi Islam yang hidup. [AM.Amir]