Example 200x600
Example 200x600
Example 1020x250
Bedah ArtikelKajian Literatur

Fenomena Debat Lintas Teologi di Media Sosial: Peluang atau Ancaman bagi Kerukunan Umat Beragama?

190
×

Fenomena Debat Lintas Teologi di Media Sosial: Peluang atau Ancaman bagi Kerukunan Umat Beragama?

Share this article
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
7
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Dalam dialog lintas teologi, empati adalah kunci, saling mendengar dengan hati adalah pintu, tujuannya satu, harmoni dalam keragaman.

Abdul Muiz Amir (Abdul Muiz Amir, dosen Tafsir di IAIN Kendari)

Perkembangan teknologi informasi dewasa ini telah melahirkan berbagai platform media sosial yang membuka ruang interaksi dan komunikasi lintas batas dengan sangat masif. Melalui jejaring sosial online, siapapun dapat dengan bebas dan cepat menyebarluaskan berbagai informasi dan pemikiran, tak terkecuali dalam diskursus keagamaan. Salah satu fenomena yang cukup marak akhir-akhir ini di media sosial adalah maraknya debat atau diskusi teologis antar umat beragama.

Di satu sisi, fenomena ini dapat dipandang sebagai sebuah perkembangan positif di mana media sosial menjadi ruang terbuka bagi dialog antar iman. Melalui diskusi di ruang digital, para penganut agama berbeda dapat saling mengenal, memahami perspektif satu sama lain, dan diharapkan dapat membangun sikap saling menghormati. Ini sejalan dengan semangat membangun toleransi dan kerukunan di tengah keragaman.

Namun di sisi lain, praktik debat lintas teologi di media sosial juga berpotensi menimbulkan masalah serius jika tidak dikelola dengan baik. Alih-alih menjadi ruang dialog yang konstruktif, tidak jarang debat-debat tersebut justru mengarah pada upaya menyerang, mendelegitimasi, bahkan melecehkan ajaran agama lain. Masing-masing pihak seolah berlomba mengklaim kebenaran teologisnya sendiri sambil menafikan yang lain.

Abdul Muiz Amir, dosen Tafsir di IAIN Kendari melalui publikasi artikelnya berjudul “From Framing to Faming in the Cross-Thological Debate: How are Christian Prince’s Commentaries Represented the Qur’an on YouTube?” yang diterbitkan oleh Jurnal Ilmiah Islam Futura (UIN Ar-Raniry Aceh) yang telah terindeks Scopus dan mendapatkan reputasi Q1 tahun ini. Melalui artikelnya itu, Amir merespons narasi kritik Christian Prince (CP) terhadap otentisitas Al-Qur’an melalui kanal YouTube-nya. Dengan bermodalkan pendekatan framing yang dikembangkan oleh William A. Gamson, Amir berusaha mengungkap konstruksi tafsir CP yang berupaya meyakinkan publik bahwa Al-Qur’an mengandung kontradiksi internal.

Amir menemukan bahwa CP menggunakan pendekatan dekontekstualisasi dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi sasaran kritiknya. Pengetahuan CP akan bahasa Arab serta terjemahan literal ayat-ayat Al-Qur’an dimanfaatkan untuk membangun narasi yang meyakinkan publik akan adanya kontradiksi dalam Al-Qur’an.

Namun, alih-alih mempertimbangkan konteks historis dalam memahami makna substansial ayat-ayat Al-Qur’an, CP justru terjebak pada makna literal tekstual sebagai perangkat framing-nya. Akibatnya, debat teologis lintas agama yang dilakukan CP ini cenderung hanya memicu kebencian dan dendam antar umat beragama yang sulit dipadamkan.

Dalam pandangan ilmu tafsir Al-Qur’an, memahami ayat tidak bisa hanya bertumpu pada makna literal semata, apalagi memaknainya secara parsial. Seorang ahli tafsir kontemporer, Nashr Hamid Abu Zayd melalui karyanya Al-Ittijah al-Aqli fi Tafsir menyatakan pentingnya perangkat keilmuan seperti analisis bahasa, kajian sejarah dan sosiologis dalam memahami ayat. Setiap ayat Al-Qur’an memiliki konteks sosio-historisnya masing-masing.

Senada dengan itu, Abdullah Saeed dalam Interpreting the Qur’an: Towards A Contemporary Approach juga menekankan signifikansi mempertimbangkan konteks dalam menafsirkan Al-Qur’an. Pemahaman tekstual literalistik atas ayat tanpa memperhatikan konteks sejarah dan situasi yang melingkupinya berpotensi mendistorsi pesan utama Al-Qur’an.

Sementara itu, dalam diskursus teologi, debat antar agama seringkali menjadi pemicu konflik berkepanjangan karena masing-masing pihak cenderung mengedepankan klaim kebenaran subjektif. Menurut Catherine Cornille dalam karyanya The im-possibility of Interreligious Dialogue, menegaskan bahwa dialog antar iman seyogianya tidak terjebak pada debat teologis apologetis, namun lebih mengarah pada upaya saling memahami dan kerja sama untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.

Penulis menyimpulkan bahwa narasi CP dalam mengkritik Al-Qur’an cenderung simplifikatif karena hanya bertumpu pada makna literal-tekstual dengan mengabaikan konteks sosio-historis yang melingkupi ayat. Pendekatan ini tidak selaras dengan prinsip-prinsip penafsiran Al-Qur’an yang dikembangkan para ahli tafsir. Debat teologis model CP ini juga kontraproduktif bagi upaya membangun hubungan antar umat beragama yang harmonis. Dialog antar iman seyogianya tidak terjebak pada debat klaim kebenaran teologis, tapi lebih menekankan semangat saling memahami, menghormati dan bekerja sama.

Model debat teologis yang hanya menekankan klaim kebenaran ini pada akhirnya hanya akan memperlebar jurang perbedaan dan menyulut kebencian antar kelompok agama. Apalagi jika diperparah dengan penggunaan argumen-argumen teologis yang simplistik, ahistoris, dan juga provokatif. Selain tidak berkontribusi pada upaya saling memahami, debat semacam ini justru kontraproduktif bagi cita-cita membangun harmoni di tengah keragaman.

Menyikapi hal ini, para tokoh agama, akademisi, dan semua elemen masyarakat perlu bersinergi untuk membangun kesadaran bersama akan pentingnya etika dalam berinteraksi di media sosial, khususnya ketika memperbincangkan isu-isu keagamaan yang sensitif. Dialog antar iman seyogianya tidak hanya berfokus pada debat klaim kebenaran teologis, namun lebih mengarah pada upaya saling memahami, menghormati, dan menemukan titik temu untuk bekerja sama menjawab problem kemanusiaan.

Media sosial sebagai ruang publik digital memiliki potensi besar sebagai medium untuk membangun jembatan komunikasi antar umat beragama. Namun potensi ini hanya dapat diwujudkan jika masing-masing pengguna bijak dalam memanfaatkannya. Debat yang hanya menekankan truth claim dan mengabaikan etika berkomunikasi justru akan menjadi ancaman bagi kohesi sosial.

Oleh karena itu, solusi yang dibutuhkan adalah dialog antar iman yang penuh empati, berlandaskan semangat saling mendengarkan, dan diorientasikan untuk membangun harmoni. Hanya dengan komitmen pada prinsip-prinsip ini, media sosial dapat menjadi instrumen perekat persaudaraan lintas iman di era digital. Ini adalah tantangan sekaligus peluang yang perlu kita respon dengan langkah-langkah strategis dan konstruktif.

203 Views
Penilaian Anda Untuk Postingan Ini?
+1
7
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

About The Author

Example 1100x350